WARTA PONTIANAK - Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan agenda pembangunan global yang disepakati 193 negara pada 2015, mengganti MDGs (Millenium Development Goals) yang berakhir di tahun itu pula.
Berakhirnya proyek yang berlangsung sejak tahun 2000 itu menyebabkan lahirnya agenda pembangunan lanjutan sebagai referensi bersama. SDGs lebih beragam dan detil, terdiri dari 17 tujuan, 169 target, dan 241 indikator. Penyusunannya melibatkan banyak negara, sumber pendanaan yang diperluas, penekanan pada HAM dalam penanggulangan kemiskinan, pelibatan pemangku kepentingan, serta prinsip inklusif dan no one left behind.
Pemerintah Indonesia merespons dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden No. 57 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) oleh Presiden Joko Widodo. TPB dikelompokkan dalam empat pilar: sosial, ekonomi, lingkungan, serta hukum dan tata kelola yang ditopang dengan prinsip kemitraan dan partispasi para pihak.
Dalam pidato yang disampaikan ketika mewakili Indonesia sebagai Menteri PPN/ Kepala BAPPENAS pada ASEAN Ministers Workshop 2017, Bambang PS Brodjonegoro mengatakan terdapat beberapa tantangan terbesar dalam pelaksanaan SDGs Indonesia.
Baca Juga: [OPINI] Gerakan Sosial ‘Baru’: Restorasi Gambut
Tantangan itu antara lain memastikan pelaksanaan prinsip inklusif dan no one left behind, mengintegrasikan semua program pemangku kepentingan dalam rencana aksi SDGs, sinergi antara prioritas-prioritas pemerintah dan non-pemerintah, serta membangun database yang komprehensif dan inklusif. Tantangan tersebut hadir di tengah fakta disparitas perkembangan tiap daerah, kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, serta atmosfer teknokratis yang kadung mengakar.
Mengurai Paradigma
Sebagai mega proyek globalisasi yang sangat ambisius, harus diakui sangat sulit mencapai indikator SDGs, bahkan oleh negara maju sekalipun. Noam Chomsky mengatakan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan mustahil mampu menghapuskan kemiskinan pada 2030. Tidak mungkin mengukur kemajuan negara “berkembang” dengan menggunakan standar yang berlaku di negara “modern”. SDGs pun terlalu mereduksi semua fenomena dan masalah hanya dalam satu narasi solusi: pembangunan.
Paradigma dalam SDGs masih berakar pada kerangka pikir antroposentris yang melihat manusia sebagai sumbu utama sebuah peradaban, sementara alam merupakan objek pemuas kepentingan manusia.