Minyak Goreng Langka, Masihkah Sawit Jadi Primadona?

- 25 Maret 2022, 22:08 WIB
Pemilik kebun kelapa sawit saat menunjukan sisa pencurian yang dilakukan oleh 6 komplotan pelaku pencurian buah kelapa sawit.
Pemilik kebun kelapa sawit saat menunjukan sisa pencurian yang dilakukan oleh 6 komplotan pelaku pencurian buah kelapa sawit. /Aldo Marantika/Kabar Banten

Berganti Sandaran, Menuju Dunia Tanpa Emisi

Perhatian juga harus kita berikan pada fakta bahwa kelangkaan komoditas ini terjadi di wilayah yang dikenal sebagai penghasil CPO terbesar. Katadata, mengutip Kementerian Pertanian, melansir luas perkebunan minyak sawit mencapai 15,08 juta hektar pada 2021, dengan total produksi sebesar 49,7 juta ton (Rizaty, 2022). Banyaknya perkebunan sawit di Indonesia ternyata tidak memberikan jaminan ketersediaan pasokan minyak goreng sawit bagi rakyatnya. Puncaknya ada pada kedaulatan Indonesia atas sektor ini. Ketergantungan terhadap harga minyak goreng internasional jadi alat ukurnya. Meski Indonesia berpredikat sebagai produsen crude palm oil (CPO) terbesar, sebagian produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO. Sehingga produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri.

Industri sawit memang primadona devisa bagi ekonomi Indonesia. Peningkatan pemasukan kas negara dan penyerapan tenaga kerja dari sektor ini cukup besar, simbolnya sempat tersemat pada koin Rp1000,00 yang pernah dikeluarkan Bank Indonesia. Peneliti Auriga Nusantara, Ramada Febrian, menyebut sepanjang 2018, ekspor sawit mencapai US$18,9 miliar dan menyerap tenaga kerja hingga mencapai 4,42 juta orang (Febrian, 2021). Perkebunan sawit juga berkontribusi sebagai penyumbang konflik agraria di Indonesia. Catatan Tahunan Komisi Pembaruan Agraria (KPA) 2021, sebagaimana dilansir CNN Indonesia, menyebutkan dari 74 konflik agrarian di Indonesia, 80% kasus terjadi di sektor perkebunan sawit dengan luas mencapai 255.006,06 hektar (CNN Indonesia, 2022).

Senada dengan catatan itu, riset Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI) melaporkan 69 konflik terjadi antara masyarakat lokal Kalimantan Barat dengan perusahaan sawit dalam dua dekade terakhir. Riset kolaboratif yang mendaras 32 dari 69 kasus itu juga menjelaskan dalam 66% dari 32 konflik yang terjadi, masyarakat tidak (atau hampir tidak) berhasil sama sekali mendapat penyelesaian atas keluhan mereka (Pahlevi, 2021). Artinya, masyarakat lokallah korban dari setiap konflik pada sektor perkebunan tanaman yang bukan endemik Indonesia.

Belajar dari praktik resiliensi masyarakat menggunakan kembali minyak kelapa, maka pemerintah seyogianya memberikan ruang besar bagi berkembangnya pengetahuan lokal tersebut menjadi industri baru yang berkelanjutan. Pengetahuan pembuatan minyak kelapa tercipta dari interaksi manusia Indonesia dengan kelapa, tanaman khas Indonesia. Pengetahuan tersituasi (situated knowledge) ini harus mampu dikompilasi, diakomodir, dipicu-luas, sehingga mampu memberikan manfaat ekologi dan ekonomi bagi rakyat banyak. Minyak kelapa lebih mampu menjawab tantangan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca pasca COP-26, solusinya ada pada tata kelola yang berkelanjutan.

 

Penulis Opini Mohammad Reza merupakan Pegiat Lembaga Gemawan

Halaman:

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x