Menanti Langkah Kolektif Menghadapi Krisis Iklim

- 14 Juli 2022, 22:13 WIB
Ilustrasi krisis iklim
Ilustrasi krisis iklim /

WARTA PONTIANAK - Terjadinya pemanasan global telah memicu sejumlah anomali iklim di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, hasil pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di 87 stasiun pengamatan menunjukkan bahwa normal suhu rata-rata Mei 2022 lebih tinggi dibanding periode 1981-2020 (Javier, 2022). 

Terjadinya anomali suhu rata-rata ini menjadi salah satu indikator anomali iklim yang kini dikenal sebagai perubahan iklim.

Baca Juga: Aktivis Pemuda Unjuk Rasa Protes Terlambatnya Penanganan Iklim di KTT COP26 PBB

Fenomena ini tentu tidak berdiri sendiri. Menilik kembali ke belakang, perubahan iklim tak mungkin dilepaskan dari pengaruh besar revolusi industri. Revolusi Industri pertama kali muncul dengan ditemukannya mesin uap, yang mengubah alat produksi dari tenaga manusia menjadi mesin-mesin bertenaga uap. Dalam perjalanannya, kemunculan alat-alat produksi baru yang eksploitatif semakin mengubah tatanan kehidupan masyarakat dari berbagai aspek kehidupan. 

 

Saling Taut Modernisasi dan Kerusakan Ekologi

Bertambahnya jumlah populasi manusia menjadi dalih meningkatnya kebutuhan untuk menggerus alam. Dengan teknologi, manusia menguasai alam. Kemampuan manusia mengembangkan teknologi dan berbagai mesin produksi yang mengonsumsi energi dan sumberdaya dalam jumlah tinggi pada akhirnya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang kronis. 

Penyebab utama pemanasan global adalah emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyelubungi Bumi dan memerangkap panas matahari di Bumi. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami, tetapi industrialisasi menyebabkan gas itu menyebar kian banyak akibat aktivitas manusia, terutama melalui penggunaan bahan bakar fosil. Industri manufaktur merupakan salah satu kontributor emisi GRK terbesar di dunia, ditambah industri ekstraktif dan perkebunan, serta peningkatan industri transportasi dan otomotif. 

Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008, konsumsi energi di tahun 2007 mencapai 851 juta SBM (setara barel minyak) dan 94% digunakan oleh industri, transportasi, dan kegiatan rumah tangga. Konsumsi energi ini meningkat sekitar 15% dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2000. Pada tahun 2007 penggunaan berbagai jenis bahan bakar diperkirakan mengemisikan CO2 sebesar 432 juta ton (Kusuma, Boedisantoso, & Wilujeng, 2010). Menurut Nurdjanah (2015), di wilayah perkotaan, sektor transportasi diperkirakan menyumbang 60-70% pencemaran udara (Novi, 2020). 

Halaman:

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x