Dugaan Kasus Mafia Tanah Libatkan Bumi Raya, Penyidik Polda Kalbar Tak Punya Alasan Hentikan Perkara

- 29 Mei 2024, 16:35 WIB
Kuasa hukum korban mafia tanah, Herman Hofi Munawar dan Andi Hariadi
Kuasa hukum korban mafia tanah, Herman Hofi Munawar dan Andi Hariadi /Dody Luber/Warta Pontianak

WARTA PONTIANAK - Proses hukum pencaplokan tanah milik Lili Santi Hasan oleh PT. Bumi Indah Raya (BIR) masih terus berlanjut.

Adapun, proses hukum tersebut sudah memasuki tahap gelar perkara penetapan tersangka pemalsuan data otentik untuk penerbitan sertifikat PT. BIR.

Meski demikian, banyak masyarakat yang tidak meyakini bahwa penyidik Polda Kalbar akan menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini. Mengingat lawan yang dihadapi korban mafia tanah Lili Santi Hasan berasal dari salah satu grup perusahaan raksasa di Kalbar.

Baca Juga: Catat! 5 Olahraga Ini Dapat Turunkan Resiko Penyakit Jantung

Siapa yang tidak mengenal dengan PT. BIR? Perusahaan ini merupakan milik dari keluarga konglamerat pemilik Bumi Raya Utama Grup.

Di Kalbar, bisnis perusahaan ini sudah menggurita, dari plywood hingga merambah ke pusat perbelanjaan modern.

Bumi Raya Utama Grup yang beralamat di Jalan Laksda Adisucipto, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya ini menaungi anak-anak perusahaan seperti GAIA Bumi Raya City, Bumi Raya Land dan sejumlah unit perusahaan lainnya.

Menanggapi beredarnya opini masyarakat yang merasa tidak yakin bahwa proses hukum kasus pencaplokan tanah milik Lili Santi Hasan diakhiri dengan penetapan tersangka. Kuasa hukum korban, Herman Hofi Munawar mengatakan, lawan kliennya adalah perusahaan besar yang memiliki akses dalam berbagai hal.

Tentu saja pendapat publik demikian, karena berdasarkan pengalaman selama ini, rakyat kecil tidak pernah berhasil memperjuangkan hak-haknya jika berhadapan dengan perusahan besar. Rakyat kecil pasti termarginalkan, dan itulah fakta yang terjadi saat ini.

"Akan tetapi kami mempunyai keyakinan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi pada Ibu Lili Santi. Kita berkeyakinan penyidik kasus ini yang di bawah komando Pak Kombes Bowo adalah personil yang memiliki komitmen dan mempunyai hati nurani menegakkan kebenaran," ujar Herman Hofi Munawar didampingi Andi Hariadi, Rabu 29 Mei 2024.

Baca Juga: Jagung sebut Kerugian Negara Dalam Kasus Korupsi di PT Timah Capai Rp300 Triliun

Menyoroti apabila adanya penghentian penyidikan perkara atau SP3 dalam kasus ini. Herman mengatakan, SP3 tentunya harus mengacu pada KUHAP dan hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat yaitu pasal 109 ayat (2) yang bunyi lengkapnya adalah dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.

"Dari norma di atas jika kita kaji, maka alasan terbitnya SP3 itu hanya ada tiga, penyidik tidak boleh membuat aturan sendiri, atau menafsirkan sendiri sebuah aturan hukum sesuai dengan selera penyidik. Jika penyidik menghentikan proses penyidikan karena alasan bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana. Tentu saja, hal ini tentu sedikit membingungkan kita, karena ketika proses, hal ini telah melalui proses penyelidikan dan dinaikan status ke penyidikan yang tentunya sudah melalui gelar perkara yang menghadirkan ahli pidana," ujar dia.

Menurutnya, ketika status berubah menjadi penyidikan artinya penyidik sudah mengantongi alasan yuridis ada peristiwa pidana yang dilakukan terlapor.

Lalu, jika alasan penghentian tersebut karena bukan peristiwa pidana. Ia pun bertanya, lantas bagaimana proses penyidikan dan gelar perkara yang menghadirkan ahli pidana? Hasil kerja-kerja penyidik melalui proses yang cukup panjang tiba-tiba dianulir oleh penyidik sendiri.

"Publik patut mempertanyakan ada apa gerangan? Kinerja penyidik sebagai front terdepan dalam penegakan hukum pidana menganulir apa yang telah dilakukan melalui proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak," ujarnya.

Lebih aneh lagi ketika proses penyidikan sudah berjalan dan telah mengumpulkan berbagai alat bukti. Dikatakannya, sudah diperoleh standar minimal 2 alat bukti untuk menetapkan tersangka. Namun, pada saat puncaknya dilakukan gelar perkara penetapan tersangka tiba-tiba diterbitkan SP3.

Baca Juga: Polisi Sita Puluhan KTA Dalam Kasus Pelat Nomor Palsu Mobil Dinas Anggota DPR RI

"Tentu publik akan sangat heran sekali. Jangan salahkan jika publik mengkritisi kerja-kerja penyidik seperti ini, dan berasumsi liar. Jika hal ini terjadi, alat bukti yang dikumpulkan selama proses penyidikan dinyatakan tidak sah, tepat dan akurat, karena bukan sebagai alat bukti sehingga diterbitkanlah SP3, dan ini hal yang sangat ajaib," ujar dia.

Apalagi saat akan menetapkan tersangka. Setelah semua bukti-bukti yuridis dan bukti fisik sudah ditemukan, tentunya sangat gampang untuk menentukan tersangkanya.

"Karena dalam peristiwa tersebut sudah diketahui siapa berbuat apa? Apa dilakukan oleh siapa? Tetapi jika dilakukan SP3, maka ini adalah bentuk merusak institusi kepolisian. Jika hal ini terjadi jangan heran jika publik berpikir liar dalam persoalan seperti ini," jelas dia.

Dalam menganulir alat bukti yang dikumpulkan selama proses penyidikan dan banyak pihak yang telah didengarkan kesaksiannya, tentu saja bisa ditafsirkan bahwa tindakan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Dijelaskannya, bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik.

"Jika hal ini terjadi maka sangat urgen untuk dilakukan tindakan korektif atas kerja-kerja penyidik menunjukkan ketidak hati-hatian atau ketidak profesionalan penyidik dalam suatu peristiwa pidana," ujar Herman

Namun, ketika penyidik sudah mengantongi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP, maka sudah dapat menetapkan tersangkanya.

Baca Juga: Seorang Pelajar di Pemangkat Jadi Korban Cabul, Pelaku Masih di Bawah Umur

Terbitnya SP3 harus berdasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu (1) nebis in idem, (2) tersangka meninggal dunia dan (3) kedaluwarsa.

"Secara singkat dapat saya jelaskan bahwa nebis in idem ini diatur dalam pasal 76 KUHP yang mengatur tentang orang tidak boleh dituntut dua kali atas perkara yang sama. Frase “menuntut” memang otoritas jaksa, namun tentu penyidik juga tidak akan bertindak gegabah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, karena jaksa sudah dipastikan tidak akan mau menuntut orang tersebut, jika ternyata untuk perkara yang sama pernah dituntut sebelumnya," ujar dia lagi.

Karena itu, ketika penyidik menyadari bahwa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka ternyata adalah orang yang sama, dengan perkara yang sama dan pernah dijatuhi hukuman, maka diterbitkanlah SP3.

Tersangka meninggal dunia sebagaimana diatur dalam pasal 77 KUHP. Dalam hal ini cukup jelas jika dijadikan pertimbangan terbitnya SP3.

"Karena tidak mungkin menuntut seorang mayat ke pengadilan, meskipun perbuatan sangat kejam sekalipun. Alasan ketiga adalah kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP," ujarnya.

Herman menambahkan, tidak ada alasan hukum penghentian atau SP3 karena sudah ada putusan PTUN dalam objek yang sama, karena sangat aneh jika penyidikan atau penetapan tersangka dihentikan karena ada Putusan PTUN. Ini artinya penyidik tidak memahami hukum. Sangat berbahaya jika penegak hukum tidak mengerti dengan hukum, akhirnya melakukan penegakan hukum menurut versinya masing masing.

"Dengan demikian jelas bahwa SP3 hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi yang dipersyaratkan pasal 109 (2) KUHAP, yang kemudian diadopsi pada peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana pasal 76 ayat (1). Artinya syarat-syarat tersebut sangat kuat, dan penting sampai-sampai harus diatur ke dalam dua produk hukum yang berbeda," pungkas dia.***

Editor: Y. Dody Luber Anton


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah