Ketakutan akan Dampak AI dalam Kehidupan Manusia, Begini Penjelasan Filsuf Teknologi

21 Mei 2023, 00:43 WIB
Ilustrasi kecerdasan buatan atau AI /ThisIsEngineering/Pexels

WARTA PONTIANAK - Teknologi baru tidak selalu diterima dengan baik, memicu skeptisisme, kekhawatiran dan ketakutan. Tapi kenapa? Padahal sejarah teknologi menyuguhkan sejumlah wawasan.

Kemajuan teknologi terpolarisasi. Bukan fenomena baru bagi inovasi untuk dicemooh, dikritik atau bahkan dijelek-jelekkan.

"Kami menemukan skeptisisme tentang teknologi bahkan dalam catatan tertulis paling awal yang kami miliki tentang teori teknologi," kata filsuf teknologi dan sejarawan Christian Vater seperti dikutip dari DW.

Dia menambahkan bahwa ada berbagai alasan untuk skeptisisme ini. Kompleksitas penemuan teknologi dan kurangnya pengetahuan atau pemahaman yang terkait, misalnya rasa takut kehilangan kendali atau bahkan emosi.

Baca Juga: Bergabung di Shopee Affiliate Program, Tasya Farasya Raup Keuntungan Hingga Ratusan Juta Lewat Spill Produk

Kepala Peneliti Deutsches Museum München Jerman Helmuth Trischler mengatakan, skeptisisme terhadap teknologi baru bukanlah bukti ketakutan umum terhadap teknologi.

"Di balik asumsi ini ada persepsi yang terbatas, ada baiknya orang mengecek berbagai hal secara rasional," katanya.

Vater mengatakan, perbedaan antara penilaian rasional atas kemungkinan konsekuensi terhadap teknologi dan sikap defensif yang tidak rasional serta tidak terkendali terhadap teknologi, yang justru membedakan antara kekhawatiran dan kepanikan.

"Saya menganggap rasa khawatir itu sah-sah saja dan sangat diperlukan, terutama jika kita ingin secara aktif, bersama-sama membentuk masa depan yang dibentuk oleh teknologi dalam demokrasi yang terinformasi," katanya.

Fakta bahwa penemuan teknologi dapat menimbulkan kekhawatiran dan kepanikan atas teknologi dapat dilihat pada contoh rel kereta api. Orang-orang pada awalnya skeptis atas teknologi ini.

Sekitar 200 tahun setelah penemuan, barulah kereta api diterima sebagai bentuk transportasi orang dan barang di seluruh dunia dan menjadi bagian dari tatanan masyarakat modern. Namun di masa-masa awalnya, sebagian kalangan menganggap rel kereta api sebagai karya setan. Mengapa demikian?

Baca Juga: Luncurkan Stasiun Luar Angkasa Komersil, Vast akan Bermitra dengan SpaceX

Kereta api untuk publik pertama di dunia diresmikan di Inggris pada tahun 1825. Setelah itu, lokomotif uap melaju dengan cepat, berisik dan berasap saat melintasi Eropa. Hal itu menyebabkan ketakutan terhadap kereta api dan apa yang dikenal di Jerman sebagai "Eisenbahnkrankheit" atau "penyakit kereta api”. Hal ini diduga disebabkan oleh kecepatannya hingga 30 km per jam, yang dulu dianggap cepat dan getarannya yang menggetarkan tulang saat duduk di gerbong kereta.

Bahkan ketika jaringan kereta api tumbuh di seluruh Inggris, kritik terhadap moda transportasi ini tetap kuat. Trischler mengatakan reaksi ini benar-benar dapat dimengerti dalam konteks zamannya.

Kemajuan teknologi memerlukan reorientasi, yang dapat memicu ketakutan yang membuat orang bereaksi dengan prognosis dan ketakutan yang mengerikan.

"Bagaimanapun, hal yang baru membangkitkan emosi. Teknologi pada dasarnya selalu dikaitkan dengan emosi," jelasnya.

Baca Juga: Patung Kuno Dewa Mesir dan Romawi Ditemukan di Polandia, Arkeolog Berikan Penjelasan Ini

Namun tidak setiap penemuan teknologi pasti menimbulkan emosi negatif. Misalnya, ketika energi nuklir masih baru, sikapnya berbeda. Reaktor riset Jerman pertama dibangun di München pada tahun 1957, dan empat tahun kemudian, energi nuklir dimasukkan ke dalam jaringan listrik di negara itu untuk pertama kalinya. Pada tahun 1960-an, energi nuklir dipandang sebagai alternatif yang murah dan bersih dibanding minyak dan batu bara. Bahkan menjadi harapan akan kebangkitan industri baru.

Suara-suara kritis pertama tumbuh keras di Jerman pada tahun 1975, ketika lokasi pembangunan pembangkit nuklir yang direncanakan diduduki oleh para pengunjuk rasa. Kritikus di Kota Wyhl, barat daya Jerman memperingatkan tentang perubahan iklim, penurunan permukaan air tanah, dan kemungkinan masalah keamanan sehubungan dengan pembangkit nuklir.

Gerakan antinuklir memperoleh momentum ketika terjadi kecelakaan di Three Mile Island pada tahun 1979 di Amerika Serikat atau kehancuran di Chernobyl pada tahun 1986. Insiden-insiden itu semakin menyebarkan ketakutan dan kekhawatiran di antara sebagian penduduk. Energi nuklir menjadi bahan perdebatan di Jerman selama beberapa dekade, hingga kecelakaan di Fukushima di Jepang pada tahun 2011, yang akhirnya membuat pemerintah Jerman memutuskan untuk menghentikan pemakaiannya.

Baca Juga: Peninggalan Zaman Turki Kuno, Patung Batu Melambangkan Sosok Perempuan Ditemukan di Kazakhstan

Sementara di beberapa bagian dunia, energi nuklir masih dipandang sebagai alternatif yang baik sebagai pengganti bahan bakar fosil, di beberapa negara hal itu menimbulkan kecemasan.

"Ketika kita berpikir tentang mengapa orang-orang khawatir tentang energi nuklir, kita dapat menunjuk pertanyaan tentang limbah nuklir ke Chernobyl atau Fukushima. Dengan kata lain, ke situasi buatan manusia atau yang bergantung pada alam dengan kegagalan teknologi dan masalah teknis yang belum terpecahkan," kata Vater.

Namun kedua akademisi ini melihat kisah sukses demokrasi dalam perdebatan energi nuklir. Vater menekankan bahwa masyarakat, jika tidak ingin menjadi teknokratis, ingin tetap menjadi demokrasi partisipatif, yang bergantung pada niat baik, pengertian dan dukungan dari anggota masyarakatnya.

Trischler menyimpulkan bahwa sesuatu dapat muncul dari perdebatan tentang skeptisisme teknologi. Ia menambahkan, bahwa ini adalah persoalan tentang perjuangan masyarakat untuk menentukan dan bernegosiasi bersama atas sesuatu.

Baca Juga: Menakjubkan Penampakannya! Jalan Kuno dalam Air Berusia 7 Ribu Tahun Ditemukan Arkeolog di Kroasia

Manusia versus mesin?

Betapa tipisnya garis antara niat baik dan skeptisisme, dukungan dan penolakan, diilustrasikan oleh perdebatan saat ini tentang kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Ilmuwan komputer dan kognitif Amerika John McCarthy menciptakan frasa kecerdasan buatan pada tahun 1956 untuk menggambarkan disiplin ilmu komputer, dengan tujuan menciptakan mesin dengan kemampuan intelektual seperti manusia.

Setelah beberapa dekade perkembangan di bidang AI, perdebatan tentang topik tersebut akhir-akhir ini terfokus pada antara lain, chatbot ChatGPT yang dirilis pada November 2022 yang langsung memicu kontroversi. Pada Maret 2023, Italia merespons dengan menjadi negara pertama yang memblokir perangkat lunak tersebut, setidaknya untuk sementara. Sekarang diizinkan lagi, tetapi usia penggunanya dibatasi.

Terlepas dari banyak keuntungan yang dijanjikan AI, misalnya peningkatan perawatan kesehatan atau peningkatan keselamatan di jalan raya, ternyata ada juga banyak kritik terhadap teknologi tersebut. Ketakutan tampaknya berjalan dalam dua arah. Beberapa khawatir tentang kemungkinan penyalahgunaan, pemalsuan atau disinformasi dan tentang masa depan profesional dan kekayaan intelektual mereka. Yang lain takut akan perkembangan teknis di masa depan yang secara bertahap dapat memberi AI lebih banyak kekuatan dan dengan demikian mengakibatkan hilangnya kendali manusia.

Trischler melihat ketakutan akan AI secara umum berakar pada kompleksitas teknologi. Kekhawatiran muncul terutama terkait dengan sistem teknis besar yang tampak anonim.

Menurut Vater, pertanyaan tentang, misalnya, apa dampak AI terhadap profesi seseorang merupakan kekhawatiran yang rasional dan bukan ketakutan yang berlebihan terhadap mesin.

Baca Juga: Bukti Penggunaan Narkoba Kuno di Eropa Ditemukan usai Ilmuwan Teliti Untaian Rambut, Digunakan untuk Ini

"Memprediksi bahwa penyebaran AI akan membuat semua upaya kreatif manusia menjadi sia-sia, dan bahwa mesin akan mengambil alih dunia dalam waktu dekat, itu adalah kepanikan," katanya.

Jadi, apakah skeptisisme terhadap teknologi baru merupakan reaksi manusia yang normal dan dapat dimengerti?

"Di belakang hari, kita sering melihat bahwa ketakutan-ketakutan ini tidak terwujud," kata Trischler, namun ketakutan-ketakutan ini dapat dimengerti jika dilihat dalam konteks pada zamannya masing-masing.

"Kemampuan untuk membuat prediksi sangat berguna, karena hal ini membantu kita untuk menyelaraskan langkah selanjutnya dalam pembangunan sebagai sebuah kelompok, sebagai masyarakat, bahkan mungkin sebagai umat manusia. Sebenarnya merupakan situasi yang normal bahwa segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kita kira," katanya.***

Editor: Y. Dody Luber Anton

Sumber: DW

Tags

Terkini

Terpopuler