Ini Sosok yang Kembali Menemukan Sumur Air Zamzam setelah Dinyatakan Hilang Selama Berabad-abad

- 10 Juli 2022, 12:14 WIB
ILUSTRASI :  Buah Kurma dan Air Zamzam kesukaan Rasul
ILUSTRASI : Buah Kurma dan Air Zamzam kesukaan Rasul /Nur Aliem Halvaima /Kalderanews / PosJakut

Ia melakukannya sebanyak tujuh kali. Kelak napak tilas Hajar ini menjadi rukun haji yang dinamakan Sa’i. Singkat kisah, Hajar mendengar seperti ada suara gemercik air. Semula ia mengira itu halusinasi belaka, hingga kemudian melihat ke sumber suara, dan ternyata ada sosok malaikat mengorek sesuatu dengan sayapnya di samping Ismail hingga keluarlah air.

Hajar pun menghampiri sumber air itu dan mengumpulkannya, “Zammî Zammî! (berkumpullah-berkumpullah!),” terikatnya kegirangan. Sejak saat itu sumber air tersebut dinamakan Zamzam. (Ibnu Katsir, Qashashul Ambiyâ’, 2018: 109-110).

Hilangnya Sumur Zamzam

Diceritakan pada saat itu kota Makkah kedatangan dua suku besar dari Yaman, yaitu Kabilah Jurhum di bawah pimpinan Mudhadh bin Amr dan Kabilah Qathura bin Karkar di bawah pimpinan As-Samaida’ bin Hautsar. Tidak lama kemudian mereka melihat sekawanan burung di suatu tempat. Biasanya itu pertanda ada sumber air di tengah padang tandus.

Baca Juga: Doa Hari Senin, Memohon Untuk Mendapatkan Suatu Kebaikan

Kemudian, diutuslah dua orang untuk memastikan keberadaannya. Setelah diketahui ada sumber air di sana, mereka berpindah ke lokasi tersebut dan meminta izin kepada Siti Hajar untuk tinggal di wilayahnya.

Hajar dengan senang hati mengizinkan. Singkat kisah Ismail sudah dewasa dan menikah dengan perempuan dari Suku Jurhum. Ismail kemudian menikah untuk kedua kalinya dari suku yang sama setelah berpisah dengan istri pertama.

Dari pernikahannya itu ia dikaruniai 12 anak. Setelah Ismail wafat dalam usianya yang ke-137 tahun, kepengurusan Zamzam diwariskan kepada Nabit, salah satu putranya. Usia Nabit pun tidak lama sehingga kepengurusan Zamzam dipegang oleh Qaidar yang juga putra Ismail.

Setelah Qaidar wafat kepengurusan dipegang oleh Mudhadh bin Amr, pemimpin Jurhum. Sejak saat itu Makkah berada di bawah kendali suku Jurhum. Untuk menghindari konlfik antarsuku, wilayah kekuasaan di Makkah dibagi dua, Suku Jurhum mendapat daerah Qu’aiqi’an sementara Qathura di daerah Jiyad. Seiring waktu berlalu terjadi gesakan hingga kedua suku itu kekuasaan, peperangan pun tak bisa dihindari.

Dalam pertempuran itu As-Samaida’ tewas. Setelah beberapa pertimbangan, mereka memutuskan untuk berdamai. Singkat kisah, Suku Jurhum yang berkuasa di Makkah ternyata tidak bisa dipercaya. Mereka banyak melakukan kezaliman di Tanah Suci itu termasuk menjarah harta kekayaan yang ada di dalam Ka’bah.

Halaman:

Editor: Faisal Rizal

Sumber: NU Online


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x