WARTA PONTIANAK – Hak veto Dewan Keamanan PBB (DK PBB) merupakan kewenangan khusus yang dipegang oleh lima negara anggota tetap: Amerika Serikat, Inggris, Prancis, China, dan Rusia.
Dengan hak istimewa ini, kelima negara tersebut dapat membatalkan atau menghentikan pengesahan rancangan resolusi apapun yang dibahas di DK PBB.
Kekuatan ini telah menjadi sumber perdebatan sengit dalam percaturan politik internasional selama ber dekade-dekade, menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas, keadilan, dan arah ke depan dari sistem keamanan global.
Dampak Hak Veto: Efektivitas DK PBB Terhambat?
Para pendukung hak veto berpendapat bahwa hak ini merupakan instrumen penting untuk menjaga stabilitas tata hubungan internasional.
Mereka menyakini bahwa negara-negara besar perlu memiliki kekuatan untuk mencegah tindakan DK PBB yang dipandang dapat memicu konflik yang lebih luas jika kepentingannya terusik.
Misalnya, Amerika Serikat pernah menggunakan hak vetonya untuk menghalangi intervensi militer PBB di Irak pada tahun 2003.
Namun, pendapat ini dibantah oleh kubu oposisi yang menilai hak veto justru menjadi penghambat efektivitas DK PBB dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Penggunaan hak veto oleh negara-negara anggota tetap dapat melumpuhkan proses pengambilan keputusan DK PBB dalam isu-isu global yang kritis seperti pelanggaran HAM berat, krisis kemanusiaan, dan intervensi militer untuk menghentikan kekerasan di suatu negara.
Baca Juga: Bela Palestina, Menlu Retno Pilih Walk Out saat Sidang di Markas PBB
Sebagai contoh, penggunaan hak veto oleh Rusia dan China telah berulang kali menghalangi DK PBB untuk mengambil tindakan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Suriah.
Keadilan dan Legitimasi: Sistem yang Tidak Setara?
Selain efektivitas, hak veto juga menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan legitimasi sistem DK PBB.
Lima negara anggota tetap memegang kekuatan yang tidak proporsional dibandingkan dengan negara-negara anggota lainnya.
Keadaan ini dipandang sebagai peninggalan era pasca Perang Dunia Kedua, di mana kekuasaan global terpusat di tangan negara-negara pemenang perang.
Para penentang hak veto menilai sistem ini sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi mencerminkan realitas politik dunia sekarang yang lebih multipolar.
Baca Juga: Singgung Perang Israel-Palestina, Menlu Retno Ingatkan PBB akan Hal Ini
Desakan untuk reformasi DK PBB pun semakin menguat. Salah satu opsi reformasi yang sering diwacanakan adalah pembatasan penggunaan hak veto.
Negara-negara anggota DK PBB harus lebih selektif dalam menggunakan hak istimewa ini dan lebih mengedepankan kepentingan global dibandingkan kepentingan nasional sempit.
Pilihan lain yang lebih radikal adalah penghapusan hak veto sama sekali dan peralihan menuju sistem pengambilan keputusan DK PBB yang lebih demokratis dan melibatkan partisipasi seluruh anggotanya. ***