16 Tahun Usai Tsunami Aceh, Masih Adakah Potensi Bencana Besar di Sumatra?

- 26 Desember 2020, 12:21 WIB
Warga menaburkan bunga seusai berdoa saat ziarah di kuburan masal tsunami Aceh di Desa Ulee Lheue, Banda Aceh, Sabtu 26 Desember 2020.
Warga menaburkan bunga seusai berdoa saat ziarah di kuburan masal tsunami Aceh di Desa Ulee Lheue, Banda Aceh, Sabtu 26 Desember 2020. /ANTARA/

WARTA PONTIANAK - Peristiwa tsunami di Aceh melahirkan duka tersendiri bagi Indonesia yang tak akan pernah terlupakan. Tsunami Aceh yang menelan korban hingga 225.000 jiwa itu terjadi akibat gempa bumi di Samudera Hindia.

Pusat gempa terjadi di kedalaman 10 kilometer di pantai Barat Aceh dengan kekuatan gempa 9,3 skala Richter. Guncangan dahsyat tersebut mengakibatkan adanya gelombang setinggi 9 meter yang meluluhlantakkan sebagian Pulau Sumtra.

Efek gempa bumi tersebut tidak dirasakan di Indonesia saja yang melahirkan tsunami Aceh. Sebagian negara tetangga ikut merasakan guncangannya yaitu Semenanjung Barat Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan beberapa Pantai Timur Afrika.

Baca Juga: Ekosistem Garis Pantai Sangat Penting untuk Mitigasi Bencana Tsunami

Terkait tsunami Aceh, Dr. Danny Hilman Natawidjaja, ahli gempa sekaligus peneliti di Puslit Geoteknologi LIPI menuangkan hasil pemikirannya di Pikiran Rakyat edisi 29 Desember 2005.

Meski terpaut 15 tahun, seperti diberitakan Pikiran Rakyat berjudul "16 Tahun Usai Tsunami Aceh, Masih Ada Potensi Bencana Besar di Sumatra karena Kondisi Uniknya" apa yang disampaikannya soal tsunami Aceh masih sangat relevan untuk direnungkan hari ini.

Berikut ini uraiannya tentang tsunami Aceh. Kepada pembaca yang budiman, bikak, lagi bestari, selamat membaca.
Sumatra yang unik

Sumatra adalah daerah yang paling banyak diteliti kondisi tektonik dan sumber gempa buminya. Sejak tahun 1991, tim California Institute of Technology dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Caltech-LIPI) mempelajari sumber-sumber gempa bumi di Sumatra.

Ada dua zona besar gempa bumi di daerah ini. Pertama, zona Patahan Sumatra (Sumatran fault zone) yang melintas di sepanjang zona pegunungan Bukit Barisan. Kedua, zona subduksi Sumatra yang terletak di bawah lautan di bawah gugusan pulau-pulau di sebelah barat Sumatra.

Baca Juga: Doni Monardo Minta Pelindung Alami Tsunami di Nusakambangan Dirawat

Pulau ini mempunyai dua tipe jalur gempa bumi. Hal ini terjadi karena lempeng India-Australia bergerak miring terhadap arah palung Sumatra sehingga respons lempeng benua Eurasia (SE Asia) terhadap gaya tumbukan lempeng Samudra ini menjadi terbagi dua.

Vektor gaya yang tegak lurus palung direspons oleh sistem zona subduksi dan vektor gaya yang searah palung kebanyakan direspons oleh Patahan Sumatra di daratan.

Sangat sering gempa-gempa besar terjadi di sepanjang Patahan Sumatra, rata-rata 1-2 kali gempa besar dalam satu dasawarsa.

Jalur patahan ini banyak melewati daerah berpenduduk padat atau kota-kota cukup besar seperti Bukit Tinggi dan Padang Panjang.

Kedua kota tersebut pernah luluh lantak dihantam gempa pada tahun 1926. Namun, jalur patahan ini, di samping zona

yang berbahaya juga memberikan keindahan alam tersendiri, seperti Danau Singkarak yang terbentuk akibar pergerakan kerak bumi di antara dua segmen patahan.

Kota Banda Aceh pun tak luput dilewati oleh Patahan Sumatra sehingga apabila dilakukan rekonstruksi pembangunan setelah bencana tsunami yang lalu, pemerintah harus memperhitungkan juga potensi bahaya dari Patahan Sumatra yang di daratan ini.

Untuk mempelajari karakteristik tektonik dan potensi bencana dari Patahan Sumatra, kami sudah memetakan jalur gempa bumi dengan cukup detail dalam skala 1:50.000.

Baca Juga: Asita Keluhkan Plang Peringatan Tsunami di Pantai Pangandaran

Gempa dan tsunami di zona subduksi Sumatra

Gempa-gempa besar juga sering terjadi di zona subduksi Sumatra. Tempat ini sangat ideal sebagai laboratorium alam untuk mempelajari proses gempa bumi karena beberapa hal.

Pertama, adanya rangkaian pulau-pulau yang berada persis di atas zona gempa bumi sehingga kita dapat meletakkan alat pemantau gempa bumi seperti seismometer dan GPS persis di atas sumbernya.

Kedua, ada banyak terumbu karang jenis mikroatol di sekeliling pulau-pulau dan di sepanjang pantai Sumatra.

Pertumbuhan mikroatol ini sangat sensitif terhadap turun naiknya dasar laut. Dengan mempelajari pola pertumbuhannya, kita dapat merekonstruksi sejarah turun-naiknya muka bumi yang berkaitan dengan siklus gempa selama beratus-ratus tahun.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa gempa besar pada masa lalu selalu menimbulkan gelombang tsunami seperti yang terjadi tahun 1797 dengan magnitude Mw 8,3 (M~8,3), 1833(M~9), 1861(M~8,5), dan 1907(M~7,8) (Gbr.7).

Baca Juga: Maluku Diguncang Gempa Bumi Berkekuatan M6,3, BMKG: Tidak Memicu Terjadinya Tsunami

Tsunami terjadi karena adanya pergerakan dasar laut secara vertikal pada saat gempa. Setelah seabad lamanya zona subduksi ini tidak meledakkan gempa besar, tiba-tiba di akhir tahun 2004 lalu kita dikejutkan terjadinya gempa sangat besar dengan moment magnitude Mw 9,2 yang disertai tsunami Aceh yang memakan banyak korban.

Gempa raksasa itu memecahkan bagian utara zona subduksi, yaitu dari Aceh sampai ke Kepulauan Andaman.

Belum pulih keterkejutan kita, tiga bulan berikutnya, pada tanggal 28 Maret 2005, segmen zona subduksi yang persis di sebelah selatannya dari segmen Aceh-Andaman ini juga pecah menghasilkan gempa bumi dengan magnitude Mw 8,7. Gempa ini juga diikuti tsunami, namun tidak begitu besar.***Yusuf Wijanarko/Pikiran Rakyat)

 

Editor: Faisal Rizal

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x