[OPINI] SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

- 12 Mei 2021, 22:06 WIB
Ilustrasi desa, Satgas Covid-19 saat melakukan cek terhadap para pengendara yang melwati Posko Covid-19 di Desa Sepulut Sintang
Ilustrasi desa, Satgas Covid-19 saat melakukan cek terhadap para pengendara yang melwati Posko Covid-19 di Desa Sepulut Sintang /Humas Pemkab Sintang/

WARTA PONTIANAK - Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan agenda pembangunan global yang disepakati 193 negara pada 2015, mengganti MDGs (Millenium Development Goals) yang berakhir di tahun itu pula.

Berakhirnya proyek yang berlangsung sejak tahun 2000 itu menyebabkan lahirnya agenda pembangunan lanjutan sebagai referensi bersama. SDGs lebih beragam dan detil, terdiri dari 17 tujuan, 169 target, dan 241 indikator. Penyusunannya melibatkan banyak negara, sumber pendanaan yang diperluas, penekanan pada HAM dalam penanggulangan kemiskinan, pelibatan pemangku kepentingan, serta prinsip inklusif dan no one left behind.

Pemerintah Indonesia merespons dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden No. 57 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) oleh Presiden Joko Widodo. TPB dikelompokkan dalam empat pilar: sosial, ekonomi, lingkungan, serta hukum dan tata kelola yang ditopang dengan prinsip kemitraan dan partispasi para pihak.

Dalam pidato yang disampaikan ketika mewakili Indonesia sebagai Menteri PPN/ Kepala BAPPENAS pada ASEAN Ministers Workshop 2017, Bambang PS Brodjonegoro mengatakan terdapat beberapa tantangan terbesar dalam pelaksanaan SDGs Indonesia.

Baca Juga: [OPINI] Gerakan Sosial ‘Baru’: Restorasi Gambut

Tantangan itu antara lain memastikan pelaksanaan prinsip inklusif dan no one left behind, mengintegrasikan semua program pemangku kepentingan dalam rencana aksi SDGs, sinergi antara prioritas-prioritas pemerintah dan non-pemerintah, serta membangun database yang komprehensif dan inklusif. Tantangan tersebut hadir di tengah fakta disparitas perkembangan tiap daerah, kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, serta atmosfer teknokratis yang kadung mengakar.

Mengurai Paradigma

Sebagai mega proyek globalisasi yang sangat ambisius, harus diakui sangat sulit mencapai indikator SDGs, bahkan oleh negara maju sekalipun. Noam Chomsky mengatakan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan mustahil mampu menghapuskan kemiskinan pada 2030. Tidak mungkin mengukur kemajuan negara “berkembang” dengan menggunakan standar yang berlaku di negara “modern”. SDGs pun terlalu mereduksi semua fenomena dan masalah hanya dalam satu narasi solusi: pembangunan.

Paradigma dalam SDGs masih berakar pada kerangka pikir antroposentris yang melihat manusia sebagai sumbu utama sebuah peradaban, sementara alam merupakan objek pemuas kepentingan manusia.

Pertumbuhan ekonomi, sebagai salah satu pilar SDGs, justru membuka jalan bagi eksploitasi sumberdaya alam oleh rezim oligarki dunia. Kontribusi balik yang diberikan rezim ini, sebagai kompensasi atas kerusakan ekologi yang terjadi, tidak mampu menjadi solusi atas permasalahan global yang berwujud kemiskinan, pengangguran, segregasi dan konflik sosial, krisis ekologi, krisis pangan, dan – bahkan – pandemi zoonosis. Yang disebut terakhir bahkan mampu mengagregasi semua krisis dalam satu tarikan nafas.

Rangkaian krisis di atas tidak dapat dilihat sebagai peristiwa yang berlangsung parsial karena masalah kehidupan, menurut Fritjof Capra, terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya. Melihatnya secara terpisah justru menyebabkan hilangnya jalan menemukan akar permasalahan yang sangat paradigmatif.

Pembangunan yang dijalankan selama ini masih mengacu pada pertumbuhan ekonomi madzhab developmentalisme. Watak developmentalisme, menurut Sonny Keraf, tidak ditinggalkan sama sekali, melainkan diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan.

Developmentalisme menawarkan cara mengembangkan kondisi ekonomi di negara berkembang melalui bantuan luar negeri untuk memacu pertumbuhan negara berkembang. Hal ini tentu berdampak pada dependensi negara penerima donor, serta membuka jalan intervensi terhadap negara berkembang. Pembangunan berkelanjutan, alih-alih menjadi bentuk gerakan global menuju dunia tanpa problema, justru menjadi ruang bersalin imperialisme baru.

Developmentalisme bersifat makro dengan orientasi yang materialis mengukur kemajuan negara berdasarkan data yang sangat positivistik, melihat pada indikator nominal, seperti jumlah pembangunan infrastruktur, angka luasan yang sudah ditanami, dan sebagainya. Pandangan model ini tentu luput melihat realitas sosial yang berubah menjadi mekanistis dan artifisial. Manusia menghamba pada sebuah sistem yang sama sekali tidak pernah mereka sepakati sebelumnya. Pada titik ini, terjadilah dehumanisasi manusia.

Karena itu, Prof. Emil Salim menyebut pentingnya perubahan paradigma secara radikal. Paradigma pembangunan berkelanjutan harus ditopang oleh peraturan dan ketentuan hukum yang jelas. Negara juga harus memiliki satu mekanisme kenbudayaan yang memungkinkan kekayaan lokal dalam bentuk local wisdom bertumbuh yang dapat menopang pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan tidak mungkin tercapai ketika paradigma yang digunakan masih materialistis.

Baca Juga: Pemerintah Kabupaten Landak Fasilitasi Penegasan Batas Desa Sehe Lusur

Localizing: Desa Berkarakter Nusantara

Jika belajar dari implementasi MDGs, maka prioritas utama SDGs – jika memang pilihannya hanya ini – adalah melakukan perubahan strategi dan metode yang memang tepat dan sesuai dengan kondisi Indonesia, baik kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan kearifan lokal, serta geografis. Gap kemajuan antar daerah, geografis yang kepulauan, serta data yang belum terintegrasi mengharuskan ejawantah yang lebih mengakar.

Karena itulah localizing SDGs menjadi tema khusus, sebagaimana langkah yang diinisiasi Kementerian Desa PDTT melalui Permendesa PDTT No 13 Tahun 2020 yang terfokus pada pemanfaatan dana desa untuk meraih SDGs Desa.

Kemendesa PDTT menambahkan poin ke-18 dalam SDGs yang melahirkan SDGs Desa, yakni kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif. Menurut Menteri Desa PDTT, Ahmad Halim Iskandar, SDGs Desa 18 menjadi upaya untuk mewadahi kearifan lokal masyarakat dan kelembagaan desa yang produktif (Kompas). Gus Menteri menyatakan SDGs Desa akan berkontribusi sebesar 74% terhadap pencapaian TPB. Ada dua aspek SDGs Desa yang diyakini dapat memberikan kontribusi signifikan, yakni aspek kewilayahan dan aspek kewargaan. Menilik fakta kewilayahan, 91% wilayah Indonesia merupakan wilayah desa, sementara berdasar aspek kewargaan, 43% penduduk Indonesia berdomisili di desa dan 6 tujuan SDGs berkait kelindan dengan warga desa.

Dengan demikian, mendaratkan SDGs hingga tingkat tapak merupakan langkah strategis. Setidaknya untuk 2 hal, pertama, SDGs Desa menjadi kendaraan untuk memunculkan karakter budaya nusantara sebagai pijakan paradigma. SDGs Desa dapat menggalang kekuatan untuk mempertahankan identitas Indonesia di tengah deraan globalisasi yang membatasi dan merelatifkan kedaulatan negara serta hegemonik terhadap alam. Kedua, SDGs Desa menjadi tameng perlindungan sumberdaya alam desa dari privatisasi dan eksploitasi.

Baca Juga: Kunjungan Kerja ke Sambas, Dirjen Percepatan PDT Tinjau Pelaksanaan Workshop Ekonomi Kreatif di Desa Nelayan

Dua tujuan tersebut akan sulit terealisasi bila model pendekatan partisipatif tidak diinstitusionalisasi, bukan sekedar partisipasi yang artifisial dan temporer. Jika agenda ini berjalan, SDGs Desa menjadi peluang mengembalikan alam sebagai centrum yang berjalan di atas kearifan budaya nusantara. Perlu diingat, tanpa manusia, alam tetap dapat berkelanjutan, sementara manusia takkan dapat bertahan tanpa alam yang berkelanjutan. ***

*Opini ini merupakan karya dari Mohammad Reza, Aktivis Pemberdayaan dari Lembaga Gemawan

 

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x