Wajib Tahu! Ini Sejarah Lengkap Sultan Hamid II yang Merancang Lambang Negara Burung Garuda

- 7 Maret 2021, 10:15 WIB
Sultan Hamid II (kanan) bersama Presiden Soekarno.
Sultan Hamid II (kanan) bersama Presiden Soekarno. /Repro gomuslim.co.id

WARTA PONTIANAK - Sosok Sultan Hamid II untuk waktu yang cukup lama menjadi kontroversial karena pernah dituduh ikut merencanakan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil alias APRA.

Baca Juga: Kaesang Pangarep Kabur Tinggalkan Felicia, Ibu Ini 'Ngomel-ngomel' dan Ungkap Semua di Medsos

Ia juga pernah ditahan tanpa diadili karena dituduh terlibat dalam rencana makar, dan juga posisinya yang menjadi ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Ratu Wilhelmina.

Namun, banyak pihak yang kini memperjuangkan status pahlawan nasional bagi Sultan Hamid II, karena sumbangsihnya yang besar dalam proses sejarah di Indonesia.

Lalu seperti apa kisah sosok yang memperjuangkan agar Indonesia menjadi federal seperti sekarang, berikut ulasannya.

Sultan Hamid II yang bernama lengkap Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie adalah pria berdarah campuran Arab-Indonesia dan merupakan sultan ke-7 kesultanan Qadriyah Pontianak.

Ia lahir pada 12 Juli 1913 di Pontianak dari pasangan Sultan ke-6 Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Syecha Jamilah Syarwani.

Baca Juga: Prediksi Ikatan Cinta Malam Ini, Minggu 7 Maret 2021: Reina Hilang, Nino Marah Besar kepada Elsa

Hamid muda menganyam pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) setingkat SD di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung.

Saat di Yogyakarta ia satu kelas dan bersahabat dengan Gusti Raden Mas Dordjatun yang kelak menjadi Sultan Hamengkubowono IX.

Hubungan yang akan punya warna tersendiri dikemudian hari karena keduanya adalah calon sultan di masing-masing kerajan.

Hamid kemudian kemudian melanjutkan pendidikan ke HBS (Hogeereburgerschool) yaitu SMP dan SMA di Bandung dan HBS 5 di Malang.

Pada 1932, dia melanjutkan pendidikannya di Tecnische Hooge School, yang saat ini jadi Institut Teknologi Bandung.

Namun hanya setahun Hamid lebih tertarik masuk Akademi Militer Belanda di Breda, Belanda.

Di Belanda ia kemudian bertemu lagi dengan Hamengkubowono IX, keduanya menjadi orang yang saling bertolak belakang, Hamid tertarik pada Belanda sedangkan Hamengkubowono tidak suka Belanda.

Baca Juga: Simak 8 Cara Membudidayakan Ikan Cupang bagi Kamu yang Masih Pemula

Sultan Hamid II tamat pada 1938 dari akademi. Ia kemudian bergabung dengan KNIL (Tentara Kerajaan Belanda) dengan pangkat Letnan Dua.

Selama karir militernya dia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya.

Pada masa pendudukan Jepang 1942, Hamid ditahan selama tiga setengah tahun di Jakarta.

Pasca Jepang menyerah pada 1945, dia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel.

Ia kemudia dilantik menjadi sultan Qadriyah Pontianak ke-7 pada 29 Oktober 1945.

Karir militernya kemudian melejit, dia naik pangkat menjadi Mayor Jenderal pada 1946 dan diangkat menjadi ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wihelmina.

Mungkin ini salah satu alasan mengapa sejarawan Anhar Gonggong tak setuju Hamid jadi Pahlawan Nasional.

Sultan Hamid II memiliki pemikiran bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia lebih cocok menjadi negara federasi.

Bersama dengan negara-negara kerajan se-Kalimantan Barat, Hamid membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), sebagai daerah otonom yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda.

Baca Juga: Pecat Kader Tak Loyal, DPC KKU Apresiasi Langkah DPD Partai Demokrat Kalbar

Menjadi Kepala DIKB sejak 1947 sampai 1950, Hamid juga ikut membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg atau Perhimpunan Musyawarah Federal bersama sejumlah tokoh politik negara-negara otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali.

Pada tahun 1949, Hamid terpilih menjadi ketua BFO, di era-era ini Indonesia memang sedang terpecah-pecah akibat Belanda yang masuk kembali dan mendirikan beberapa negara boneka.

Sultan Hamid II memperjuangkan sistem Federal dalam berbagai perundingan, mulai dari perundingan Malino sampai Konferensi Meja Bundar (KMB).

Sosok Hamid adalah pribadi yang mudah bergaul, hal ini ditulis oleh Rosihan Anwar dalam buku Napak Tilas ke Belanda.

Namun, posisinya yang cendrung “Pro” kepada Belanda membuatnya sering bersebrangan dengan tokoh-tokoh politik Indonesia lainnya.

Terutama dari kelompok-kelompok yang ingin agar Indonesia menjadi negara kesatuan.

Hamid memimpin delegasi BFO dan KMB di Den Haag, Belanda yang dilangsungkan antara 23 Agustus hingga 2 November 1949.

KMB di Den Haag dihadiri tiga pihak, yakni Belanda, BFO, dan Republik Indonesia.

Hasil dari kesepakatan itu, terbentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang beranggotakan Republik Indonesia dan bermacam negara bagian yang tergabung dalam BFO.

Baca Juga: Awas! yang Sering Langgar Rambu Lalu Lintas, E-Tilang akan Diberlakukan di Kota Pontianak

Pengakuan kedaulatan kepada RIS dilakukan pada 27 Desember 1949, Soekarno dilantik sebagai Presiden RIS dan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri.

Sedangkan Hamid menjadi menteri negara tanpa portofolio dalam kabinet RIS.

Di posisinya ini salah satu warisan terbesar Hamid adalah lambang negara Burung Garuda yang berisi tentang Pancasila yang dirancangnya.

Logo Burung Garuda mengalami penyempurnaan hingga yang digunakan seperti saat ini.

Namun tak seperti lambang garuda yang diagung-agungkan, kisah selanjutnya Sultan Hamid II justru sebaliknya, ia sempat di tangkap dan dipenjara karena dituduh terlibat dalam perencanaan kudeta yang dilakukan oleh APRA yang dipimpin oleh Raymond Westerling.

Hubungan Hamid dengan Westerling memang sudah berlangsung lama berawal dari nongkrong bareng, kemudian berujung pada perencanaan kudeta.

Westerling yang adalah komandan pasukan khusus KNIL bernama Depot Speciale Troepen memang tak di setujui oleh Soekarno jadi Presiden RIS.

Sementara Hamid juga mulai kesal dengan upaya orang-orang yang terlihat ingin mengubah Indonesia menjadi negara kesatuan.

Mereka berencana menyerang sidang Menteri RIS pasda 24 Januari 1950. Hamid memerintahkan agar semua menteri ditangkap, sedangkan menteri pertahanan Sultan Hamengkubowono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiarjo, dan Kepala Staf Angkatan Perang RIS Kolonel TB Simatupang harus ditembak mati seketika itu juga.

Baca Juga: Menyandang Status Desa Berkembang, Desa Beringin Tak Ada Sinyal Telekomunikasi

Namun serangan tersebut gagal karena sidang kabinet selesai lebih cepat. Hamid sendiri didetik-detik akhir disebut ingin membatalkan penyerangan tersebut.

Walaupun serangan ini gagal, Hamid tetap ditangkap oleh Sultan Hamengkubowono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata.

Beberapa waktu pasca penangkapannya, RIS dibubarkan dan Indonesia akhirnya menjadi sebuah negara kesatuan.

Mahkamah agung menjatuhkan 10 tahun penjara dipotong masa tahanan 3 tahun terhadap Sultan Hamid II.

Ia dianggap berniat menyuruh untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati tiga pejabat pemerintah.

Kini banyak pihak yang ingin membersihkan nama Sultan Hamid beragumentasi bahwa penyerangan tersebut tidak terjadi sehingga harusnya Sultan Hamid tidak bisa dipidana.

Hakim disebut mengambil putusan bukan karena alasan hukum, tetapi politik.

Hamid bebas pada tahun 1958, walaupun tak berpolitik, empat tahun kemudian ia kembali ditangkap dan dijebloskan kerumah tahanan militer Madiun karena dituduh melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi VOC semacam organisasi bawah tanah.

Anggota VOC antara lain adalah Sultan Syahrir, Subadio Sastrosatomo, Mohammad Roem, Prawoto, dan Yunan Nasution.

Sultan Hamid II dibebaskan pada tahun 1966 seiring berakhirnya rezim Orde Lama.

Anshari Dimyati Direktur Eksekutif Yayasan Sultan Hamid II mengatakan penangkapan Hamid terkait makar besar kemungkinan diakibatkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno.

Dan bukan berdasarkan fakta, mengingat Hamid tak lagi terlibat politik pasca keluar dari penjara.

Baca Juga: Helikopter Kamov Ka 32 Mampu Bawa 5 Ton Air Untuk Guyur Karhutla

Sultan Hamid II meninggal pada 30 Maret 1978 di Jakarta, beberapa sumber mengatakan dia menghembuskan nafas terakhir saat bersujud ketika salat Maghrib.

Secara umum Sultan Hamid II dianggap sebagai salah satu tokoh yang mewakili Kalimantan Barat di tingkat nasional pada awal-awal kemerdekaan Indonesia.

Kisahnya juga menjadi gambaran besar bagaiman sengitnya politik di era-era awal kemerdekaan Indonesia.

Warisan terbesar Sultan Hamid II untuk bangsa Indonesia adalah lambang negara ini, Garuda Pancasila.

Budayawan Betawi, Ridwan Saidi menyebutkan jika pada saat masih muda dirinya bergaul akrab dengan TB Simatupang, A.H Nasution, Mohammad Roem.

Baca Juga: Prediksi Ikatan Cinta Malam Ini, Minggu 7 Maret 2021: Reina Hilang, Nino Marah Besar kepada Elsa

"Saya juga berjumpa dengan pak Hatta, saya tidak pernah mendengar dari mereka kata-kata yang negatif terhadap Sultan Hamid II, saya baru dengar sekarang Sultan Hamid II dikatakan sebagai penghianat,” ujar Ridwan Saidi.***

 

Editor: Faisal Rizal


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah