KEPAL: Undang-Undang Ciptaker Inkonstitusional Sejak Proses Pembentukannya

19 November 2020, 16:59 WIB
Ilustrasi UU Ciptaker /

WARTA PONTIANAK - Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) yang resmi disahkan dan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 2 November 2020 sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinilai mengubah banyak materi pasal dari sejumlah Undang-Undang lintas-sektoral yang di antaranya juga mencakup sektor terkait ketenagakerjaan, pertanahan, perkebunan, pertanian, nelayan, pendidikan dan UMKM.

Komite Pembela Hak Kontitusional (KEPAL), mengatakan perubahan serta penghapusan pada pasal-pasal yang ada di dalam Undang-undang tersebut akan menuai sejumlah masalah.

“Perubahan dan termasuk juga penambahan dan penghapusan atas pasal-pasal pada sejumlah Undang-undang asal untuk selanjutnya dikemas dalam satu materi Undang-Undang spesial bertajuk Cipta Kerja tersebut tak pelak dapat memantik masalah yang serius, mengingat perubahan-perubahan materi tersebut serta merta mempengaruhi muatan, landasan filosofis dan arah dari kebijakan dalam sektor-sektor terkait,” seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Warta Pontianak, Kamis 19 November 2020.

Baca Juga: Jungkalkan China, AS Mulai Pepet Musuh Lamanya Vietnam

Selanjutnya, segala bentuk campur tangan pemerintah dalam mengintegrasikan yang mencakup berbagai sistem dengan nuansa bisnis dan investasi dinilai akan menghambat kemajuan diberbagai sektor.

“Upaya pemerintah untuk mengintegrasikan sistem pertanian, perkebunan, perikanan, pangan, pertanahan, air hingga pendidikan ke dalam sistem pasar yang longgar dan sangat kental nuansa bisnis dan investasi sebagaimana dalam UU CK dikhawatirkan justru berdampak menghambat pemajuan sektor-sektor tersebut selaras dengan cita-cita pembangunan nasional yang didasarkan pada mandat UUD 1945, dan sebaliknya dapat semakin memundurkan semangat kedaulatan serta terlindunginya hak-hak warga negara di dalamnya,” dalam keterangan pers tersebut.

Baca Juga: [Pilkada 2020] Diingat Ya! Pilkada Bukan Ajang Dagang Kewenangan

KEPAL menegaskan, UU Cipta Kerja merupakan produk yang dipaksa disahkan sehingga melanggar tata peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan Pemerintah Indonesia meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam prolegnas prioritas tahunan.

Latar belakang yang membuat pemerintah meminta hal tersebut dikarenakan adanya desakan dari World Trade Organization (WTO) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

“Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya surat dari Pemerintah Indonesia yang dicatat di WTO dengan nomor WT/DS477/21/Add.13, WT/DS478/21/Add.13 pada 18 Februari 2020 yang pada pokoknya akan mengubah 4 (empat) Undang-Undang Nasional melalui Undang-Undang Cipta Kerja agar sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO). Empat Undang-Undang itu diantaranya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan hewan,” tulis KEPAL.

Dalam kesempatan kali ini pun, KEPAL menilai, banyak dari elemen masyarakat yang berjuang agar Undang-undang Cipta Kerja ini dapat berjalan sesuai kontitusional yang ada. Undang-undang ini dinilainya tidak memiliki landasan yang cukup kuat.

“Selain mengandung banyak masalah pada aspek materiil, bagi ormas-ormas tani, nelayan, pegiat pendidikan serta elemen masyarakat sipil lain yang aktif memperjuangkan hak-hak konstitusional, bahwa UU CK tidak cukup memiliki landasan hukum yang kuat karena tidak memenuhi syarat-syarat tahapan berdasarkan pembentukan peraturan perundangan. Dengan kata lain UU CK adalah inskonstitusional karena tidak memiliki dasar pembentukan hukum yang layak dan memadai dalam proses pembentukannya,” sebut KEPAL.

Baca Juga: Khawatir Menyusui Saat Pandemi? Ibu Tak Perlu Takut Lagi, Ini Faktanya

Di antara penyimpangan yang nampak dalam proses pembentukan UU CK tersebut adalah tidak tercerminnya keterbukaan dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan.

Bahkan praktik buruk proses legislasi Undang-Undang ini tidak berhenti pada saat disahkan oleh DPR RI saja, namun pasca diundangkan juga masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal yang dikandungnya. Keadaan cacat formil yang melekat pada UU CK tersebut tak pelak dapat melahirkan rantai ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraannya.***

Editor: M. Reinardo Sinaga

Tags

Terkini

Terpopuler