Fakta Seorang Guru Dipenggal Saat Habis Mengajar di Prancis

18 Oktober 2020, 21:32 WIB
Bendera Prancis. /PIXABAY/RGY23 /WARTA PONTIANAK/

WARTA PONTIANAK - Kabar dipenggalnya seorang guru di Prancis menjadi babak baru Islamofobia di negara Prancis.

Pasalnya, belakangan ini Presiden Prancis Emmanuel Macron menggambarkan bahwa pembunuhan itu sebagai 'serangan teroris Islam'. Dikatakannya bahwa Prancis terlibat dalam pertempuran eksistensial melawan terorisme.

Adalah Samuel Paty, seorang guru yang gugur dengan cara dipenggal dalam perjalanan pulang sehabis mengajar di sekolah.

Baca Juga: Waspada! BMKG Tetapkan 3 Wilayah Berstatus Siaga Bencana Hidrometeorologi

Untuk diketahui, pembunuh guru tersebut adalah pemuda yang baru berusia 18 tahun, kelahiran Moskow namun memiliki garis keturunan Chechnya. Keluarganya tiba di Prancis kala dirinya masih kecil, seperti dikutip Pikiran-Rakyat.com dari The Guardian.

Diketahui bahwa saat ini pihak Kepolisian tengah mencari informasi lebih dalam dari orang tua, kakek, dan saudara laki-lakinya yang berusia 17 tahun.

Selain itu, pihak Kepolisian menahan lima lainnya termasuk ayah dari seorang murid di sekolah tersebut, dan seorang kenalannya yang dikenal oleh badan intelijen.

Baca Juga: Hina Moeldoko di Medsos Berakhir Bui, Pemilik Akun Facebook Ditangkap dan Kena UU ITE

Atas tragedi tersebut, sepuluh orang diamankan pihak Kepolisian sehubungan dengan serangan yang menewaskan Samuel Paty itu.

Untuk diketahui, pada 5 Oktober 2020 lalu di sekolahnya di Conflans-Sainte-Honorine, barat laut Paris Samuel Paty mengambil kelas instruksi moral dan kewarganegaraan.

Kelas-kelas itu wajib dan mencakup mata pelajaran termasuk sekularitas, hukuman mati, dan aborsi.

Baca Juga: Berduka Setiap Saksikan Pasien-pasien Meninggal, Perawat Covid-19: Kami juga Punya Rasa Takut

Sebagai bagian dari diskusi tentang kebebasan berbicara, Samuel Paty menunjukkan kepada siswanya di kelas beberapa karikatur kontoversial yang menggambarkan Nabi Muhammad karya Charlie Hebdo.

Sadar bahwa hal tersebut akan berdampak pelanggaran bagi beberapa murid Muslimnya, Samuel Paty menyarankan agar murid Muslimnya berpaling atau meninggalkan kelas.

Selepas kejadian tersebut, pihak sekolah dikabarkan mendapat keluhan tentang penggunaan karikatur dalam pembelajaran dan menuntut Samuel Paty mengundurkan diri.

Setelah diadakan pertemuan antara kepala sekolah, guru, orang tua dan petugas pendidikan, orang tua siswa mengajukan pengaduan hukum secara resmi.

Tidak tinggal diam, Samuel Paty mengajukan laporan balasan lantaran dinilai pencemaran nama baik.

Ayah dari seorang murid sekolah itu mengunggah video di YouTube yang menyebutkan bahwa gurunya sebagai preman yang perlu kembali ke bangku sekolah, dan meminta orang tua untuk bergabung dengannya dalam menuntut agar gurunya menghadapi tindakan disipliner.

Samuel Paty lantas pergi ke kantor polisi setempat, bersama kepala sekolah, awal bulan Oktober setelah terdapat keluhan hukum tentang pelajarannya.

Dalam laporannya, dia mengatakan pada penyelidik bahwa dirinya tak memahami apa yang telah terjadi, hal tersebut lantaran putri dari ayah yang mengeluh atas pelajarannya itu, dikatakan tidak ada di kelas pada hari itu.

Samuel Paty tinggal di dekat sekolah dan terbiasa berjalan melalui hutan untuk pulang, namun belakangan ia memutuskan untuk mengubah rutenya untuk pulang, lantaran merasa terancam sehingga ia memutuskan untuk berjalan melalui daerah pemukiman.

Baca Juga: Disangka Meninggal oleh Keluarga, Kakek 74 Tahun Dimasukkan ke Tempat Pendingin Jenazah Hidup-hidup

Sementara itu, Jaksa penuntut anti-terorisme Jean-Francois Ricard mengatakan bahwa pihak Kepolisian tengah mencoba untuk menentukan kejadian-kejadian menjelang kejahatan tersebut.

Selepas menghembuskan nafas terakhir, kerumunan pelayat termasuk sesama guru, politisi, dan pejabat lokal serta mantan murid Samuel Paty berkumpul di luar sekolahnya pada hari Sabtu, 17 Oktober 2020.

Prancis merupakan negara yang telah menghadapi beberapa tindakan terorisme terburuk di Eropa selama delapan tahun terakhir, dan dilaporkan bahwa pembunuhan pada hari Jumat, 16 Oktober 200 sangat mengejutkan dalam kebiadabannya, memicu luapan amarah, kesedihan dan kebencian di seluruh Prancis.

Baca Juga: 6 Hari Terombang-ambing di Perairan Cilacap, 2 Nelayan Berpegangan Tangan di Atas Perahu Terbalik

Di media sosial, tagar JeSuisProf atau Saya seorang guru muncul dan menjadi viral, mengingatkan pada tagar JeSuisCharlie, ekspresi solidaritas tahun 2015 pada Charlie Hebdo setelah pembantaian di kantornya.

Bagi negera Prancis, perjuangan melawan terorisme dan pencegahan radikalisasi yang tumbuh di dalam negeri telah menjadi apa yang digambarkan Presiden Prancis pada Jumat, 16 Oktober 2020 sebagai pertempuran eksistensial.

Paris dinyatakan berada dalam siaga tinggi dalam beberapa pekan terakhir setelah sidang terhadap 14 orang yang diduga terkait dengan serangan 2015 dibuka pada September.

Baca Juga: Lempar Sindiran Pedas pada Jokowi, Dandhy Laksono Bawa Nama Soekarno dan Singgung Alumni UGM

Namun bagi badan intelijen dan polisi negara, perjuangan akhir-akhir ini telah bergeser dari tidak hanya menggagalkan aksi teroris skala besar yang direncanakan, namun juga mengidentifikasi individu yang tidak ada dalam radar dinas keamanan dan tidak ditandai sebagai risiko ancaman.

Sementara itu, Abdallah Zekri selaku presiden Observatorium Islamofobia, dirinya menggambarkan bahwa pemenggalan pada hari Jumat, 16 Oktober 2020 sebagai tindakan mngerikan.

"Tindakan mengerikan dan yang lebih mengerikan dilakukan atas nama agama saya dengan dalih Charlie Hebdo," katanya.

Lebih lanjut ia menilai bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan pengecut, serta harus dikecam orang Prancis.

"Ini tindakan kriminal pengecut yang harus dikecam semua orang di Prancis," katanya.***

Editor: Y. Dody Luber Anton

Tags

Terkini

Terpopuler