Ribuan Warga Palestina di Tepi Barat Hadapi Risiko Pemindahan Paksa

- 12 Juni 2022, 18:47 WIB
Ilustrasi : warga Palestina di wilayah Tepi Barat akan menghadapi risiko pemindahan paksa
Ilustrasi : warga Palestina di wilayah Tepi Barat akan menghadapi risiko pemindahan paksa /hosny salah/Pixabay

WARTA PONTIANAK  – Sekitar 1.200 warga Palestina di wilayah Tepi Barat yang diduduki Masafer Yatta, akan menghadapi risiko pemindahan paksa guna memberi jalan bagi tentara Israel setelah pertempuran hukum selama beberapa dekade yang berakhir bulan lalu di pengadilan tertinggi Israel.

Keputusan itu membuka jalan bagi salah satu perpindahan terbesar, sejak Israel merebut wilayah tersebut, dalam perang Timur Tengah tahun 1967.

Tetapi penduduk setempat menolak untuk pergi, dan mereka berharap ketahanan dan tekanan internasional agar mencegah Israel melakukan penggusuran.

“Mereka ingin mengambil tanah ini dari kami untuk membangun pemukiman,” kata Wadha Ayoub Abu Sabha, penduduk Al-Fakheit, salah seorang dari sekelompok dusun di mana para penggembala dan petani Palestina mengklaim memiliki hubungan bersejarah dengan tanah itu.

"Kami tidak akan pergi," katanya.

Pada tahun 1980-an, Israel mendeklarasikan daerah itu sebagai zona militer tertutup yang dikenal sebagai “Zona Penembakan 918.”

Baca Juga: Kementerian Kesehatan: Pasukan Israel Tembak Mati Remaja Palestina di Tepi Barat

Israel berargumen di pengadilan bahwa 3.000 hektar (7.400 hektar) di sepanjang perbatasan Israel-Tepi Barat ini “sangat penting” untuk tujuan pelatihan dan orang-orang Palestina yang tinggal di sana hanyalah penduduk musiman.

“Ini merupakan tahun kesedihan yang luar biasa,” kata Abu Sabha, suaranya pecah saat dia duduk di salah satu dari beberapa tenda yang masih berdiri, diterangi oleh sebuah bola lampu.

Komunitas di bagian South Hebron Hills ini secara tradisional tinggal di gua bawah tanah. Selama dua dekade terakhir, mereka juga mulai membangun gubuk timah dan kamar kecil di atas tanah.

Pasukan Israel telah menghancurkan konstruksi baru ini selama bertahun-tahun, kata Abu Sabha, tetapi sekarang setelah mereka mendapat dukungan pengadilan, penggusuran kemungkinan akan berlanjut.

Baca Juga: Tentara Israel Diduga Tembak Mati Wartawati Al Jazeera di Wilayah Tepi Barat

Beberapa langkah jauhnya, barang-barang keluarganya menjadi tumpukan puing setelah tentara tiba dengan buldoser untuk meruntuhkan beberapa bangunan.

Dia menyesali kerugian yang signifikan termasuk ternak yang semakin berkurang bahkan semakin banyak perabotan yang hancur.

Dikutip dari Arab News, sebagian besar argumen selama kasus berlarut-larut berpusat pada, apakah orang-orang Palestina yang tinggal di seberang daerah itu adalah penduduk tetap atau penghuni musiman.

Mahkamah Agung menyimpulkan bahwa penduduk “gagal membuktikan klaim tempat tinggal permanen mereka” sebelum daerah itu dinyatakan sebagai zona tembak.

Itu bergantung pada foto udara dan kutipan dari buku 1985 yang dikutip kedua belah pihak sebagai bukti.

Baca Juga: Meliput Perang di Tepi Barat, Wartawan Senior Al Jazeera Tewas Tertembak

Buku berjudul “Life in the Caves of Mount Hebron,” ditulis oleh antropolog Israel Yaacov Havakook, yang menghabiskan tiga tahun mempelajari kehidupan petani dan gembala Palestina di Masafer Yatta.

Havakook menolak berkomentar dan malah merujuk Reuters ke bukunya.

Tetapi dia mengatakan dia telah mencoba untuk mengajukan pendapat ahli atas nama penduduk mengikuti permintaan dari salah satu pengacara mereka, dan dicegah oleh kementerian pertahanan Israel, di mana dia bekerja pada saat itu. ***

Editor: Yuniardi

Sumber: Arab News


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah