Mengungkap Keberagaman Pontianak dalam Heritage dan Toponimi

- 27 Oktober 2020, 19:26 WIB
DISKUSI - Para peserta webinar “Pontianak Heritage dan Toponimi” diselenggarakan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa, Kamis 27 Oktober 2020.
DISKUSI - Para peserta webinar “Pontianak Heritage dan Toponimi” diselenggarakan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa, Kamis 27 Oktober 2020. /WARTA PONTIANAK/SURIA MAMANSYAH

WARTA PONTIANAK - Menelisik Pontianak dengan sudut pandang toponimi, maka akan menemukan jejak-jejak sejarah masyarakat Kota Pontianak yang toleran sejak dulu.

Kesimpulan tersebut terungkap dalam webinar ‘Pontianak Heritage dan Toponimi’ yang diselenggarakan oleh Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Kamis 27 Oktober 2020.

Toponimi adalah bidang keilmuan dalam linguistik yang membahas tentang asal-usul penamaan nama tempat dan wilayah.

Penulis buku ‘Pontianak Heritage’, Ahmad Sofian mengatakan, proses berdirinya Kota Pontianak tidak berjalan secara tunggal.

Hal itu bisa dilihat dari beradanya penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Pontianak. Misalnya, Kampung Jawa, Kampung Bali, Kampung Banjar, Kampung Arab dan lain-lain.

“Ini merupakan suatu nilai-nilai yang seharusnya tidak boleh hilang di masyarakat,” kata Sofian yang juga merupakan Direktur Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) Kalbar.

Baca Juga: Terapi Uap Minyak Kayu Putih Ala Sutarmidji Diakui Sebagai Alternatif Penyembuh Covid-19

Pernyataan serupa juga disampaikan Kepala Kesbangpol Pontianak, Rizal. Ia menyebutkan pembukaan Kota Pontianak ini tentu sangat menarik. Di mana pendirinya, yakni Sultan Abdurrahman membangun Kota Pontianak dengan filosofi yang luar biasa.

“Menjadikan Kota Pontianak ini sebagai rumah bersama,” tuturnya.

Di kesempatan yang sama, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Pontianak, Abdul Syukur, mengingatkan bahwa perbedaan seharusnya menjadi pemersatu. Kerukunan tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, melainkan juga masyarakat, untuk menciptakan suasana yang aman, nyaman dan damai.

“Perbedaan yang ada adalah kehendak Tuhan. Perbedaan agama, perbedaan suku budaya adat istiadat adalah suatu keniscayaan, yang tidak boleh diambil oleh siapapun, karena itu adalah hak asasi manusia,” ujarnya.

Baca Juga: Cegah Banjir dan Longsor, Wakil Rakyat Ajak Galakkan Penanaman Pohon

Ketua panitia webinar, Lulu Musyarofah mengatakan bahwa Yayasan SAKA mengadakan dialog ini dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-249 Kota Pontianak.

Sebelumnya Yayasan SAKA juga membuat serial video dokumenter yang melibatkan beragam paguyuban etnis, wali kota, dan sejarawan terkait Kota Pontianak.

“Untuk menciptakan kerukunan, maka modal yang harus kita tanamkan adalah toleransi, saling menghargai, dan saling menghormati. Maka dari itu diperlukannya buku-buku sejarah dalam perspektif lokal yang perlu dikembangkan,” pungkasnya. (***)

Editor: Suryadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x