Pilkada 2020 Jadikan Momentum Perlindungan Hutan dan Gambut

26 November 2020, 18:33 WIB
Ilustrasi karhutla. /pexels/vladyslavdukhin

WARTA PONTIANAK - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang diselenggarakan di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota di Indonesia merupakan momentum untuk memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya pada tahun 2030.

Pesta demokrasi daerah ini sangat penting bagi lingkungan karena 67,72 persen atau 60,5 juta hektare hutan alam Indonesia dan 64,33 persen atau 13,9 juta hektare ekosistem gambut Indonesia berada di provinsi dan kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 tersebut.

“Jika berhasil melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang sangat luas di daerahnya, Kepala Daerah terpilih dapat mengakses berbagai inovasi pendanaan atau skema insentif berbasis lingkungan, misalnya Transfer Anggaran ke Daerah dan Dana Desa, Hibah Dalam dan Luar Negeri terkait REDD+, Skema Keuangan dan Investasi Hijau, Instrumen Nilai Ekonomi Karbon, dan berbagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup lain yang salah satu bentuknya adalah imbal jasa lingkungan,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam keterangan pers yang diterima Warta Pontianak, Kamis 26 November 2020.

Baca Juga: 10 Pelajar Kapuas Hulu Berprestasi Terima Beasiswa Kuliah Selama 4 Tahun

Sebaliknya, jika tidak dilindungi dengan baik, hutan alam dan ekosistem gambut yang luas dapat menjadi pembawa risiko dan meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana yang dapat mengganggu pembangunan ekonomi daerah, khususnya bencana banjir, longsor, dan Karhutla.

Berdasarkan kajian Madani, hutan alam di 9 provinsi dan 10 kabupaten penyelenggara Pilkada Serentak 2020 menghadapi 4 kategori ancaman yang levelnya semakin meningkat, yaitu berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam. Ancaman tersebut semakin besar jika berbagai klausul yang melemahkan perlindungan hutan alam dalam RPP tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kehutanan tidak segera diperbaiki.

“Di antara 9 provinsi penyelenggara Pilkada Serentak 2020, provinsi yang paling rawan deforestasi dan degradasi hutan adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah sementara di tingkat kabupaten, yang paling rawan adalah Kabupaten Merauke dan Malinau,” ujar Fadli A. Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Baca Juga: Gantikan Edhy Prabowo, Luhut Pandjaitan Ditunjuk jadi Menteri KP Ad Interim

Di 9 provinsi tersebut, hutan alam seluas 12,5 juta hektare atau 22 kali luas Pulau Bali berisiko deforestasi dan degradasi hutan, kemudian 2,6 juta hektare atau setara 4 kali luas Pulau Bali terancam deforestasi dan degradasi hutan, 1,2 juta hektare atau 2 kali luas Pulau Bali sangat terancam deforestasi, dan 2,6 juta hektare atau 4 kali luas Pulau Bali paling terancam deforestasi.

Di antara 10 kabupaten penyelenggara Pilkada 2020 dengan hutan alam terluas, hutan alam seluas 11,9 juta hektare atau 21 kali luas Pulau Bali berisiko deforestasi dan degradasi, 1,23 juta hektare atau 2 kali luas Pulau Bali terancam deforestasi dan degradasi, 521 ribu hektare atau hampir seluas Pulau Bali sangat terancam deforestasi, dan 3 juta hektare atau 5 kali luas Pulau Bali paling terancam deforestasi.

“UU Cipta Kerja memangkas beberapa kewenangan Pemerintah Daerah dan cenderung memperkukuh kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam,” ujar M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan.

Baca Juga: Masyarakat Semakin Cerdas Gunakan Platform Digital Saat Pandemi

Setidaknya ada lima kewenangan Pemerintah Daerah yang dihapus oleh UU Cipta Kerja.

“Yaitu kewenangan terkait penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis, kewenangan untuk menetapkan kebijakan Amdal dan UKL-UPL, kewenangan untuk menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL, kewenangan untuk membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu Komisi Penilai Amdal, dan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Selain itu, meskipun Pemerintah Daerah masih memiliki kewenangan terkait perencanaan ruang di wilayahnya, rencana tata ruang daerah dapat diabaikan untuk memberi jalan bagi kepentingan Proyek Strategis Nasional atau jika ada perubahan kebijakan nasional yang strategis,” tambahnya.  

 Baca Juga: Pelaku Investasi Bodong Bermodus Perdagangan Mata Uang Asing Senilai Rp15 M Ditangkap Polda Jatim

Pemerintah Daerah tetap memiliki beberapa kewenangan yang penting untuk melindungi hutan alam dan ekosistem gambut. Kewenangan terpenting Pemerintah Provinsi di antaranya adalah kewenangan untuk mengajukan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan melalui mekanisme revisi tata ruang; Perlindungan dan pengelolaan hutan alam di Area Penggunaan Lain dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi; memberikan Perizinan Berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan; kewenangan terkait pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); dan kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat serta mendorong percepatan Perhutanan Sosial di wilayahnya.

Pemerintah Kabupaten dan Kota juga memiliki beberapa kewenangan penting, di antaranya adalah: Pengajuan usulan perubahan status kawasan hutan kepada Gubernur; Perlindungan dan pengelolaan hutan alam di Area Penggunaan Lain dalam RTRW Kabupaten dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR); Pemberian Perizinan Berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan; serta kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat di wilayahnya.

Sementara Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana menyoroti gap antara biaya pilkada dan kemampuan finansial calon yang berisiko memunculkan benturan kepentingan. Berdasarkan hasil survei KPK ditemukan mayoritas calon kepala daerah dibiayai sponsor. “Jadi ada 82,3 persen pada tahun 2018 itu yang menyatakan bahwa, karena dana yang mereka miliki relatif kecil dibanding biaya yang mereka keluarkan, jadi mereka menyatakan mereka dibantu oleh donatur atau sponsor,” kata Wawan.

Bantuan yang diberikan tidak terbatas pada masa kampanye tapi sejak sebelum kampanye. Berdasarkan survei tersebut juga ditanyakan apakah para donatur dan sponsor mengharapkan balasan jika calon yang didanai terpilih. Jawabannya, berdasarkan temuan dalam pilkada 2018, sebanyak 76,3 persen para penyokong dana tersebut mengharapkan mendapatkan balasan.

Baca Juga: Lindungi Anak dan Anak Penyandang Disabilitas, Kapolda NTB Diganjar Penghargaan

Separuh lebih dari penyokong dana menyampaikan keinginan tersebut secara eksplisit baik tertulis maupun lisan.

“Ujung-ujungnya mereka ingin dipermudah kalau mereka melakukan perizinan, apakah termasuk kehutanan atau perizinan yang lain, lalu kemudahan untuk ikut serta dalam tender nanti, kemudian yang ketiga mereka ingin jaminan keamanan pada saat menjalankan bisnis mereka,” papar Wawan.

Parahnya, 83,80 persen calon kepala daerah yang dibantu menyatakan kesanggupan memenuhi harapan penyokong dana. “Hampir 84persen mereka menjawab ya, akan memenuhi permintaan para sponsor tadi,” katanya.

 

Wawan menambahkan sejak 2010 KPK berusaha mencegah dan memberantas korupsi dakam tata kelola kehutanan, sejak perencanaan.

Salah satunya, menyangkut perizinan. KPK menemukan adanya kasus-kasus upaya suap.

“Ternyata mereka harus mengeluarkan 600 juta hingga 22 miliar per tahun untuk mendapatkan konsesi, uang yang beredar pun sangat besar,” tambahnya. ***

 

 

Editor: M. Reinardo Sinaga

Tags

Terkini

Terpopuler