Mengapa Ekonomi Rusia Tetap Stabil? Meskipun Dihantam Sanksi Berat dari AS dan Uni Eropa

24 Februari 2023, 01:41 WIB
Ilustrasi suasana Rusia usai diberi sanksi berat oleh AS dan Uni Eropa, namun ekonomi tetap stabil /Lubov Tandit/Pexels

WARTA PONTIANAK - Meskipun mendapat sanksi ekonomi berat dari Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) akibat invasi militer ke Ukraina, namun Rusia masih bisa meraup keuntungan besar dari penjualan minyak dan gas ke Asia.

Setahun yang lalu, tepatnya pada hari-hari pasca invasi militer ke Ukraina, ekonomi Rusia memang sempat goyah, sekutu Barat, yang dipimpin oleh AS dan Uni Eropa, menjatuhkan sanksi berat terhadap perdagangan dan sistem keuangan negara komunis itu.

Nilai tukar mata uang Rubel sempat anjlok ke rekor terendah terhadap dolar AS. Bursa saham Moskow langsung ditutup selama beberapa hari, dan bank sentral Rusia menggandakan suku bunga untuk mencegah larinya dana dari dalam negeri ke luar negeri.

Baca Juga: Laporan WHO : Seorang Perempuan Meninggal per Dua Menit saat Melahirkan, Terbanyak Negara Konflik dan Miskin

Dalam sebuah pernyataan, para pemimpin Uni Eropa menggambarkan konsekuensi serius dan parah yang akan dihadapi Rusia karena sanksi itu. Para pengamat ekonomi memperkirakan akan terjadi penurunan besar dalam PDB.

Beberapa minggu setelah sanksi diberlakukan, Gedung Putih melaporkan dalam sebuah pernyataan, bahwa para ahli memperkirakan PDB Rusia akan menyusut hingga 15 persen tahun ini, sehingga menghapus keuntungan ekonomi selama lima belas tahun terakhir.

Namun ternyata, semua itu tidak terjadi. Perekonomian Rusia memang menghadapi tantangan berat selama 12 bulan terakhir, namun performa ekonominya tetap baik, jauh lebih baik daripada yang diperkirakan oleh Barat.

Alexandra Vacroux, direktur eksekutif Pusat Studi Rusia dan Eurasia Davis di Universitas Harvard mengatakan, penyusutan ekonomi Rusia jauh lebih sedikit daripada 10 persen hingga 15 persen yang dibicarakan pada awal perang.

Baca Juga: Populasi Penduduk Menurun, China Beri Cuti Pernikahan 30 Hari untuk Tingkatkan Angka Kelahiran

Badan statistik resmi Rusia pekan ini melaporkan, perekonomian di negaranya hanya mengalami kontraksi sebesar 2,1 persen pada tahun 2022.

Chris Weafer, yang pernah bekerja di Rusia selama 25 tahun sebagai penasihat investasi dan ahli strategi mengatakan, pada bulan-bulan awal setelah invasi ke Ukraina memang ada banyak kepanikan di Rusia tentang ekonomi. Bukan hanya karena sanksi, tetapi juga karena banyak perusahaan asing yang meninggalkan Rusia.

"Ada spekulasi bahwa hilangnya rute perdagangan dan logistik akan sangat memukul manufaktur. Jadi sekitar waktu itu, saya sangat pesimis tentang prospek ekonomi untuk tahun 2022," ujarnya seperti dikutip dari DW.

Namun pada bulan Mei 2022 prospek ekonomi di Rusia ternyata membaik dengan cepat.

"Anda bisa melihat bahwa prediksi terburuk tidak akan terjadi," katanya.

Baca Juga: MUI Kecam Pembakaran Al Quran di Swedia, Minta Tindak Tegas Kelompok Ekstremis

Alasan lain mengapa ekonomi Rusia tetap kokoh adalah menguatnya hubungan dagang Rusia dengan Asia, terutama dengan China dan India. Rusia bisa mendapatkan produk-produk Barat yang tidak masuk dari Eropa dan AS melalui negara-negara pihak ketiga seperti China, India dan negara-negara Asia lainnya.

Alexandra Vacroux mengatakan, China adalah pemenang besar dari situasi ini. Perdagangan bilateral dengan Rusia melonjak, dan Moskow juga makin tergantung pada Beijing.

"Sebenarnya China tidak terlalu peduli dengan Rusia," katanya, karena perdagangan dengan Rusia hanya 3 persen dari seluruh perdagangan China.

Sebaliknya, situasi Rusia makin tergantung dari China. Itu sebabnya, China sekarang berani menegur Rusia, misalnya ketika Presiden China Xi Jinping mengatakan kepada Putin agar jangan menggunakan nuklir saat menginvasi Ukraina.

Baca Juga: Pembakaran Al Quran di Swedia Dikutuk Aliansi Peradaban PBB, Moratinos : Tindakan Keji

 "Anda tidak dapat menggunakan senjata nuklir di Ukraina. Jangan lakukan itu. Dan Rusia benar-benar harus mendengarkan," pungkas Vacroux.

Menurut penelitian yang dilakukan mingguan Inggris The Economist, penjualan minyak mentah Rusia tetap tinggi, terutama didorong oleh permintaan dari China dan India. Di lain pihak, Rusia juga harus menjual gas dan minyaknya dengan harga rendah, karena perlu uang.

Chris Weafer yakin bahwa sanksi Uni Eropa yang baru, yang dimulai pada 5 Februari 2023  lalu dan menargetkan produk diesel dan produk olahan lainnya, merupakan momen kunci yang potensial.***

Editor: Y. Dody Luber Anton

Sumber: DW

Tags

Terkini

Terpopuler