[OPINI] Gerakan Sosial ‘Baru’: Restorasi Gambut

- 3 Januari 2021, 17:33 WIB
Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah (kaos putih les merah) saat berbincang dengan petani di Demplot Lahan Tanpa Bakar Desa Trimandayan, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, Kalbar
Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah (kaos putih les merah) saat berbincang dengan petani di Demplot Lahan Tanpa Bakar Desa Trimandayan, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, Kalbar /instagram @hermawansyah_wawan/BRG

Oleh: Hermawansyah

Perubahan sosial merupakan tema klasik dalam perbincangan kaum scholar-activist sejak lama hingga kini. Isu ini seolah masih dalam tataran “yang-dibayangkan”, sebagaimana Benedict Anderson menyebut komunitas dalam nation-state sebagai imagined communities.

Diskursus perubahan sosial itu lantas melahirkan berbagai teori pendukung dari masing-masing kutub paradigma. Teori perubahan sosial, menurut Mansour Fakih, adalah teori tentang cara suatu masyarakat berubah serta dinamika dan proses sekitar perubahan tersebut.  

Dalam  ‘Runtuhnya   Teori   Pembangunan   dan Globalisasi’,  Fakih  memberikan  analisis  tentang  teori  perubahan  sosial  yang diwarnai oleh dua aliran teori sosial yang berbeda kutub; teori modernisasi atau sosial regulasi yang berakar pada paradigma sosial positivisme dan teori sosial kritik atau ilmu sosial emansipatoris. (Fakih, 2003)

Teori sosial regulasi bertitik tekan pada stabilitas, pertumbuhan, pembangunan, obyektivisme, bebas nilai, dan menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan. Sementara teori sosial kritik menyoroti penyadaran kritis masyarakat terhadap ketimpangan sistem dan struktur sosial, perubahan sosial yang tidak bebas nilai, serta menolak obyektivisme.

Kedua teori besar yang berseberangan secara diametral itu ditopang oleh beberapa paradigma sosiologi. Burnell dan Morgan memetakan paradigma sosiologi dengan paradigma humanis radikal, strukturalis radikal, interpretatif, dan fungsionalis.

Pertama, paradigma humanis radikal yang berminat mengembangkan sosiologi perubahan sosial dengan berpijak pada kesadaran manusia (subjektivis).

Kesadaran manusia, dalam pandangan dasar paradigma ini, telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis diluar dirinya yang menciptakan alienasi – pemisahan antara dirinya dengan kesadarannya yang murni atau membuatnya dalam kesadaran palsu – sehingga menghalangi tercapainya pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itulah agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia.

Kedua, Paradigma strukturalis radikal yang dipengaruhi oleh pemikiran Old Marx, menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan yang terjadi karena ketimpangan hubungan struktural dalam realitas sosial. Sehingga penganut paradigma ini menginginkan terjadinya perubahan sosial secara radikal dari sudut pandang objektivisme.

Ketiga, paradigma interpretatif yang menganut sosiologi keteraturan dengan menekankan pada subjektivisme dalam analisis sosialnya. Kenyataan sosial, dalam pandangan paradigma yang sangat dipengaruhi Immanuel Kant ini muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang (subjektivis). Sehingga perubahan sosial dilakukan dengan terlebih dahulu mencari sifat paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang terlibat dalam perubahan sosial.

Keempat, paradigma struktural fungsional atau fungsionalisme – juga berakar pada sosiologi keteraturan – yang berorientasi melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan (pragmatis) untuk memecahkan permasalahan-permasalahan praktis.

 

Dinamisator BRG Kalbar saat bersama Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan
Dinamisator BRG Kalbar saat bersama Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan BRG

Sebagaimana disampaikan Fakih, paradigma ini berkaitan erat dengan teori pembangunan seperti human capital theory dan modernisasi. Menurut para penganutnya, masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan dan melengkapi.

Setiap bagian didalamnya berfungsi demi menjaga stabilitas dan perkembangan masyarakat. Relasi yang terjadi dari tiap bagian akan menyebabkan ketika satu bagian masyarakat berubah akan berpengaruh terhadap perubahan bagian lain untuk mencapai equilibrium. Oleh karenanya, konflik dalam paradigma fungsional harus dihindari karena dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan equilibrium. Paradigma yang dilandasi objektivisme ini berupaya melakukan rekayasa sosial dengan menekankan pada harmoni, stabilitas, dan keteraturan.

 

Jalan Alternatif Perubahan Sosial

Dari sejumlah paradigma yang dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial dipahami sebagai upaya memperbaiki relasi sosial yang ada di masyarakat – terlepas pilihan paradigma, teori, dan metode yang hendak digunakan. Perbaikan relasi sosial itu diharapkan akan melahirkan hubungan sosial baru yang berkeadilan – Fakih mengistilahkan ini sebagai transformasi sosial, yakni sebuah jalan alternatif perubahan sosial yang berporos pada masyarakat di tingkat tapak.

Dalam Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, ia menyatakan bahwa transformasi sosial merupakan penciptaan hubungan ekonomi, politik, kultural dan lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih baik (Fakih, 1996).

“Nothing   endures   but   change,” demikian   ujar   Herakleitos   menjustifikasi keniscayaan perubahan dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Alam yang sangat dinamis meniscayakan adaptasi yang cepat pula.

Demikian pula halnya perubahan sosial; alih-alih konsisten dengan satu metodologi, malah berdampak pada stagnasi gerakan dan tidak terealisasinya cita-cita perubahan sosial yang diharapkan.

Ilmu sosial modern – yang berbasiskan empirisme, telah memisahkan etika dari kajian mereka. Dampaknya adalah krisis etika (aksiologis) yang berimplikasi pada

krisis ekologis akibat pemanfaatan sumberdaya ilmu dalam eksploitasi alam yang minor nilai. Demi mendapatkan keuntungan besar dari sektor sumberdaya alam, misalnya, rezim kapitalis dengan jejaring korporasinya tak segan membabat rata hutan dalam konsesi mereka.

Tindakan itu dilakukan dengan sadar tanpa memikirkan relasi manusia dengan sumber-sumber penghidupan yang berasal dari hutan, juga relasi antara manusia dengan flora dan fauna yang hidup didalam ekosistem itu.

Fritjof Capra, seorang saintis-positivis, harus menoleh ke belahan dunia lain untuk mengkaji hikmah Timur. Capra menyaksikan rongrongan skeptisisme dan relativisme materialis di era kiwari justru mengkaramkan peradaban manusia modern. Senada dengan Capra, Arnold Toynbee menjadikan mental-spiritualitas atau agama sebagai lapisan inti peradaban umat manusia dalam karyanya A Study of History. Bahkan sains dan teknologi ditempatkan oleh Toynbee sebagai lapisan terluar peradaban.

Fenomena integralisme mensyaratkan adanya perumusan kembali gagasan perubahan sosial yang kontekstual dengan hambatan dan tantangan kontemporer. Ketika dunia-baru mengalami transformasi besar dengan integrasi ilmu, maka rekonstruksi gerakan sosial berbasis metode yang integralistik menjadi kebutuhan yang tak terelakkan untuk memecahkan stagnasi.

Naluri manusia, secara pasti, menuju pada satu titik pertemuan untuk memastikan keberlanjutan alam agar bisa dinikmati oleh generasi mendatang. Konvergensi teori-teori perubahan sosial lantas jadi fenomena ikutan. Idiom-idiom kolaborasi, sinergi dan integrasi yang kini lazim didengar merupakan indikasi gerakan baru itu.

Dinamisator BRG Kalbar, Hermawansyah saat di Desa Trimandayan, Sambas
Dinamisator BRG Kalbar, Hermawansyah saat di Desa Trimandayan, Sambas BRG

 

Gerakan Sosial Baru

Integralisme memotori lahirnya sebuah gerakan yang lintas geografis, struktur yang lebih terbuka, desentralisasi, serta bebas sekat sektoral. Gerakan itu dinamai sebagai gerakan sosial baru atau new social movement. Kompleksitas paradigma, teori, metodologi, serta permasalahan yang dihadapi sudah melintasi dimensi yang dipahami sebelumnya.

Permasalahan ekosistem gambut, sebagai contoh, tak mungkin dilepaskan dari regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah, investasi berbasis hutan dan lahan, heterogentias manusia yang hidup diatasnya, pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut, faktor sejarah yang menghiasi setiap lapisannya, juga perkembangan teknologi yang kini begitu massif.

Gerakan  sosial,  menurut  Anthony  Giddens,  merupakan  upaya  kolektif  demi menggapai terwujudnya kepentingan bersama, mencapai tujuan bersama dengan cara tindakan kolektif (collective action) dan memposisikan diri sebagai gerakan yang   berada   di   luar   pemerintahan.   Oleh   Rajendra   Singh,   gerakan   sosial dikategorikan menjadi gerakan sosial klasik, neo-klasik, dan kontemporer atau baru (Singh, 2010).

Dinamisator BRG Kalbar saat memanen cabe di Desa Trimandayan
Dinamisator BRG Kalbar saat memanen cabe di Desa Trimandayan BRG

Kajian mengenai gerakan sosial baru muncul ke permukaan setelah gerakan skala besar  atas  isu-isu  mendasar  yang  meliputi  aspek  humanis,  kultural,  dan  non- materialistik. Sehingga, gerakan sosial baru bersifat lebih universal, dengan model yang  tidak  terjebak  pada  diskursus  ideologi.

Dalam  Gerakan  Sosial:  Teori  dan Praktik,  Abdul Wahib  Situmorang  memaparkan  bahwa  gerakan  ini memiliki  ciri utama sebagai berikut: pertama, menempatkan aksi gerakan sosial menjadi suatu aksi  kolektif  yang  memiliki  nilai  positif  dan  rasional;  kedua,  mengoreksi  serta mengkontekstualisasikan teori-teori gerakan sosial pada era sebelumnya; ketiga, kajian  gerakan  sosial  kian  beraneka  ragam  karena  semakin  banyaknya  praktik gerakan dan studi gerakan sosial di luar wilayah Amerika dan Eropa;  keempat, gerakan   sosial   baru   mampu   mengidentifikasi   faktor   yang   memfasilitasi berkembangnya   gerakan,   kekuatan   atau  kelemahan   dan   keberhasilan   atau ketidakberhasilan dari suatu gerakan sosial (Situmorang, 2007).

Sederhananya, gerakan sosial baru menjelma menjadi upaya kolektif untuk memperjuangkan isu-isu universal. Misalnya Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, kemiskinan, masyarakat adat, lingkungan hidup dan perubahan iklim, serta antikorupsi dan atau inisiatif global open government partnership (OGP). Gerakan sosial baru telah melampaui kutub-kutub paradigma yang ada, tidak hanya teori bahkan lintas mazhab agama.

Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah saat membuka Sekolah Lapang Petani Gambut di Arang Limbung, Kubu Raya, Kalbar
Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah saat membuka Sekolah Lapang Petani Gambut di Arang Limbung, Kubu Raya, Kalbar BRG
 

Dalam Islam misalnya, perhatian terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pendidikan sudah sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan Khalifah penerusnya. Bahkan Syaidina Ali RA lewat ungkapan terkenalnya pernah mengatakan bahwa; ‘jika kemiskinan dan kebodohan itu berwujud seorang manusia, maka akulah orang pertama yang akan membunuhnya’.

 

Gerakan Itu Adalah Desa Peduli Gambut

Menyitir Rhenald Kasali dalam pengantar bukunya bertajuk Tomorrow is Today, yang mengatakan bahwa kita hidup pada era baru – disebut dengan disruption era, yang   mengharuskan   kita   tidak   hanya   berhenti   pada   sustaining  innovation, melainkan  melakukan  disruptive  innovation.  Inovasi  ini  tidak  hanya  mengubah bentuk, ukuran, dan desain. Namun inovasi menyeluruh yang mengubah metode, cara kerja, bahkan produk yang tidak lagi relevan (Kasali, 2018).

Demikian halnya dengan Desa Peduli Gambut (DPG) yang diluncurkan oleh Kedeputian Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut RI di tujuh provinsi target restorasi gambut. DPG – yang dirancang sebagai kerangka penyelaras program dan kegiatan di desa-desa gambut serta menjadi alat ukur bersama untuk menetapkan kontribusi program pada capaian kemajuan desa – merupakan cara BRG melakukan adaptasi terhadap disrupsi yang menghendaki pendekatan multi-teori dan dimensi.

Konvergensi berbagai paradigma dan teori sosial yang dipaparkan di atas diharapkan menghasilkan tesis baru yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungannya, sebagaimana upaya BRG menerapkan strategi restorasi gambut dengan rewetting, revegetasi, dan revitalisasi berbasis komunitas desa di tingkat tapak.

Kunjungan singkat Deputi III BRG-RI Myrna Safitri ke Desa Permata dan Sungai Radak Dua, Kubu Raya.
Kunjungan singkat Deputi III BRG-RI Myrna Safitri ke Desa Permata dan Sungai Radak Dua, Kubu Raya. BRG

Melalui BRG, pemerintah menyiapkan instrumen legal bagi masyarakat di tingkat tapak untuk berkontribusi terhadap pelestarian ekosistem gambut di Indonesia. Ditunjang dengan pendekatan pembangunan desa berbasis lansekap ekosistem gambut, BRG berupaya menjahit dan merekatkan kerjasama desa-desa yang berada dalam Kawasan Perdesaan Gambut.

Program  restorasi  gambut  melalui  DPG  merupakan  konvergensi  paradigma humanis radikal & struktural fungsional; berpijak pada kesadaran subjektivisme masyarakat desa dan objektivisme rekayasa sosial untuk mewujudkan harmoni dan equality. Tujuh kegiatan utama DPG bisa menjadi indikator implementasi tesis baru ini, yakni 1), Pendampingan Desa dan Komunitas; 2) Pemetaan sosial, ekonomi dan spasial; 3) Integrasi restorasi gambut dalam dokumen perencanaan desa (RPJMDes, RKPDes, APBDes); 4) Penguatan institusi dan regulasi lokal (Perdes, Perkades, SK Kades,  Pokmas,  MPA,  Poktan);  5)  Pemberdayaan  ekonomi  (pelatihan,  bantuan ekonomi produktif, penguatan BUMDes, produk unggulan); 6) Penguatan inovasi lokal dan teknologi tepat guna (sekolah lapang petani gambut, seniman pangan, dan kerajinan); dan 7) Resolusi konflik dan pemantauan restorasi gambut.

Imagined communities, kembali mengutip Anderson, menggambarkan keterlibatan setiap elemen dalam masyarakat – mulai dari pemerintah pusat hingga desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta komunitas desa bersama para fasilitator – dalam menjaga kelestarian ekosistem gambut.

Dengan demikian, Desa Peduli Gambut adalah sebuah ‘rumah perubahan’ yang didalamnya berinteraksi berbagai elemen masyarakat. Aparatur pemerintah desa, petani gambut, kelompok perempuan, penyuluh agama, guru sekolah, pemuda dan pelajar, berkolaborasi dan bersinergi dalam gerakan sosial baru melalui kemasan program DPG.

Kegiatan DPG menghasilkan beberapa capaian, diantaranya profil desa yang disahkan dan menjadi dokumen resmi pemerintah desa. Profil desa selain berisi informasi sosial-ekonomi, juga termasuk peta administrasi, tata guna dan penguasaan lahan. Dokumen ini dapat membantu pemerintah desa sebagai rujukan data untuk menyusun perencanaan desa.

Selain itu Perdes dan SK Kades terkait agenda restorasi gambut. Desa-desa yang beririsan dengan kawasan hutan juga difasilitasi usulan perhutanan sosial. Adanya ribuan kader sekolah lapang telah dilatih dan mempraktekkan metode pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB) di demplot desanya. Guru-guru SD dari desa gambut dilatih metode pengajaran mengenal ekosistem gambut sejak dini. Begitu juga para juru dakwah di desa dilibatkan sebagai Da’i gambut.

Dr. Myrna A Safitri, Deputi III BRG saat memberi arahan dalam Lokakarya Desa
Dr. Myrna A Safitri, Deputi III BRG saat memberi arahan dalam Lokakarya Desa BRG

BRG bersama MUI membuat panduan dakwah restorasi gambut. Simpul-simpul masyarakat, aparatur desa dan pemuda dilatih menjadi paralegal. BRG bekerjasama dengan BPHN-KemenkumHAM RI menyusun kurikulum pelatihannya. Ibu-ibu kelompok dilatih mengemas berbagai produk pangan dan kerajinan, hingga dikenalkan dengan platform pemasaran digital secara online.

Fasilitator desa memfasilitasi pembentukan MPA atau Satgas Karhutla, penguatan kelompok tani, pendampingan demplot, BUMDes, produk unggulan, serta mengawal proses musyawarah desa dalam penyusunan RKPDes untuk mengintegrasikan agenda restorasi gambut dalam kebijakan perencanaan desa. Berbagai capaian dari kegiatan DPG tersebut secara faktual juga berkontribusi pada target Kementerian Desa PDTT untuk meningkatkan status Indeks Desa Membangun (IDM).

Bahkan saat Menteri Desa PDTT baru-baru ini melaunching SDGs Desa dengan menjadikan Desa sebagi ujung tombak pencapaian indikator SDGs global, program DPG diyakini akan menyumbang capaian beberapa indikator SDGs Desa tersebut.

Dengan demikian, tentu tidak berlebihan untuk menyebut bahwa Desa Peduli Gambut sebagai arus baru perubahan sosial di Indonesia.***

 

Penulis adalah Dinamisator BRG Kalbar

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah