[OPINI] SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

- 12 Mei 2021, 22:06 WIB
Ilustrasi desa, Satgas Covid-19 saat melakukan cek terhadap para pengendara yang melwati Posko Covid-19 di Desa Sepulut Sintang
Ilustrasi desa, Satgas Covid-19 saat melakukan cek terhadap para pengendara yang melwati Posko Covid-19 di Desa Sepulut Sintang /Humas Pemkab Sintang/

Pertumbuhan ekonomi, sebagai salah satu pilar SDGs, justru membuka jalan bagi eksploitasi sumberdaya alam oleh rezim oligarki dunia. Kontribusi balik yang diberikan rezim ini, sebagai kompensasi atas kerusakan ekologi yang terjadi, tidak mampu menjadi solusi atas permasalahan global yang berwujud kemiskinan, pengangguran, segregasi dan konflik sosial, krisis ekologi, krisis pangan, dan – bahkan – pandemi zoonosis. Yang disebut terakhir bahkan mampu mengagregasi semua krisis dalam satu tarikan nafas.

Rangkaian krisis di atas tidak dapat dilihat sebagai peristiwa yang berlangsung parsial karena masalah kehidupan, menurut Fritjof Capra, terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya. Melihatnya secara terpisah justru menyebabkan hilangnya jalan menemukan akar permasalahan yang sangat paradigmatif.

Pembangunan yang dijalankan selama ini masih mengacu pada pertumbuhan ekonomi madzhab developmentalisme. Watak developmentalisme, menurut Sonny Keraf, tidak ditinggalkan sama sekali, melainkan diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan.

Developmentalisme menawarkan cara mengembangkan kondisi ekonomi di negara berkembang melalui bantuan luar negeri untuk memacu pertumbuhan negara berkembang. Hal ini tentu berdampak pada dependensi negara penerima donor, serta membuka jalan intervensi terhadap negara berkembang. Pembangunan berkelanjutan, alih-alih menjadi bentuk gerakan global menuju dunia tanpa problema, justru menjadi ruang bersalin imperialisme baru.

Developmentalisme bersifat makro dengan orientasi yang materialis mengukur kemajuan negara berdasarkan data yang sangat positivistik, melihat pada indikator nominal, seperti jumlah pembangunan infrastruktur, angka luasan yang sudah ditanami, dan sebagainya. Pandangan model ini tentu luput melihat realitas sosial yang berubah menjadi mekanistis dan artifisial. Manusia menghamba pada sebuah sistem yang sama sekali tidak pernah mereka sepakati sebelumnya. Pada titik ini, terjadilah dehumanisasi manusia.

Karena itu, Prof. Emil Salim menyebut pentingnya perubahan paradigma secara radikal. Paradigma pembangunan berkelanjutan harus ditopang oleh peraturan dan ketentuan hukum yang jelas. Negara juga harus memiliki satu mekanisme kenbudayaan yang memungkinkan kekayaan lokal dalam bentuk local wisdom bertumbuh yang dapat menopang pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan tidak mungkin tercapai ketika paradigma yang digunakan masih materialistis.

Baca Juga: Pemerintah Kabupaten Landak Fasilitasi Penegasan Batas Desa Sehe Lusur

Localizing: Desa Berkarakter Nusantara

Jika belajar dari implementasi MDGs, maka prioritas utama SDGs – jika memang pilihannya hanya ini – adalah melakukan perubahan strategi dan metode yang memang tepat dan sesuai dengan kondisi Indonesia, baik kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan kearifan lokal, serta geografis. Gap kemajuan antar daerah, geografis yang kepulauan, serta data yang belum terintegrasi mengharuskan ejawantah yang lebih mengakar.

Karena itulah localizing SDGs menjadi tema khusus, sebagaimana langkah yang diinisiasi Kementerian Desa PDTT melalui Permendesa PDTT No 13 Tahun 2020 yang terfokus pada pemanfaatan dana desa untuk meraih SDGs Desa.

Halaman:

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x