Minyak Goreng Langka, Masihkah Sawit Jadi Primadona?

- 25 Maret 2022, 22:08 WIB
Pemilik kebun kelapa sawit saat menunjukan sisa pencurian yang dilakukan oleh 6 komplotan pelaku pencurian buah kelapa sawit.
Pemilik kebun kelapa sawit saat menunjukan sisa pencurian yang dilakukan oleh 6 komplotan pelaku pencurian buah kelapa sawit. /Aldo Marantika/Kabar Banten

WARTA PONTIANAK - Polemik minyak goreng telah berlangsung sejak akhir 2021 lalu. Saat itu harga minyak goreng mulai menanjak meskipun belum terjadi kelangkaan. Hingga Maret 2022 ini, polemik itu justru tak kunjung usai, justru minyak goreng jadi barang yang sulit ditemui. Padahal Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi sempat berujar stok minyak goreng di Indonesia melimpah. 

Di mana Minyak Goreng?

Melansir laman Jawa Pos, ia menyebut total minyak goreng terhimpun mencapai 573.890 ton berdasarkan kebijakan domestic market obligation (DMO), dan telah didistribusikan sebanyak 415.787 ton (Zaking, 2022). Lutfi menyebutkan pula, di antara 38 produsen minyak goreng di Indonesia, lima besar penyumbang DMO terbesar adalah Wilmar Group, PT Musim Mas, PT Smart Tbk, Asian Agri, dan Permata Hijau (Zaking, Jawa Pos, 2022). 

Pernyataannya itu tak menjawab persoalan yang ditemui di lapangan. Pasalnya minyak goreng masih langka, tersedia dengan harga yang mahal. Alhasil, di hadapan anggota Komisi VI DPR RI, Lutfi meminta maaf karena tak mampu mengontrol dan melawan penyimpangan minyak goreng. Ia menduga kelangkaan ini ulah mafia pangan (Hakim, 2022). 

Seperti dirilis Kompas, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, menyebutkan sejumlah penyebab langkanya minyak goreng. Pertama, kenaikan harga minyak internasional. Kedua, pandemi Covid-19 yang mengganggu logistik. Ketiga, Kemendag menduga adanya oknum warga yang menimbun minyak goreng di rumah masing-masing. Keempat, dugaan oknum yang mempermainkan minyak goreng dengan menimbun, dijual ke industri, dan menjual ke luar negeri secara ilegal (Anwar, 2022).

Investigasi Ombudsman RI, mengutip CNN Indonesia, melihat penyebab serupa atas situasi ini. Yang membedakan, Ombudsman menduga adanya selisih data kebutuhan minyak goreng di dalam negeri (DMO) yang dilaporkan dengan realisasinya. Dugaan Ombudsman selanjutnya adalah gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (Novelino, 2022). 

Masyarakat Merespon “Rapuhnya” Tata Kelola Pangan

Berbagai ide muncul merespon kelangkaan minyak goreng, seperti diet penggunaan minyak goreng dan menggantinya dengan makanan rebus, beralih ke alat masak air fryer, serta memasak dengan margarin dan minyak alternatif. Menarik menyoroti inisiatif yang lahir di akar rumput, ketika kelompok masyarakat di sejumlah daerah kembali melirik penggunaan minyak kelapa. Jauh sebelum minyak goreng sawit beredar mencengkeram pasar, minyak kelapa yang diproduksi di desa-desa Nusantara adalah kearifan lokal tersendiri. Hanya saja, seiring ekspansi perkebunan sawit, minyak kelapa kini semakin terhimpit.

Inisiasi itu wujud daya lenting masyarakat untuk terus bertahan hidup. Tapi itu bukan jalan keluar utama, karena tugas menjaga pasokan pangan berada di pundak pemerintah. Artinya, ada tata kelola yang mendesak untuk segera dibenahi pemerintah agar ini tak berlarut atau terulang kembali. Apatah lagi kini warga bersiap menyambut kehadiran Ramadhan dan Idul Fitri, masa meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. 

Berganti Sandaran, Menuju Dunia Tanpa Emisi

Perhatian juga harus kita berikan pada fakta bahwa kelangkaan komoditas ini terjadi di wilayah yang dikenal sebagai penghasil CPO terbesar. Katadata, mengutip Kementerian Pertanian, melansir luas perkebunan minyak sawit mencapai 15,08 juta hektar pada 2021, dengan total produksi sebesar 49,7 juta ton (Rizaty, 2022). Banyaknya perkebunan sawit di Indonesia ternyata tidak memberikan jaminan ketersediaan pasokan minyak goreng sawit bagi rakyatnya. Puncaknya ada pada kedaulatan Indonesia atas sektor ini. Ketergantungan terhadap harga minyak goreng internasional jadi alat ukurnya. Meski Indonesia berpredikat sebagai produsen crude palm oil (CPO) terbesar, sebagian produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO. Sehingga produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri.

Industri sawit memang primadona devisa bagi ekonomi Indonesia. Peningkatan pemasukan kas negara dan penyerapan tenaga kerja dari sektor ini cukup besar, simbolnya sempat tersemat pada koin Rp1000,00 yang pernah dikeluarkan Bank Indonesia. Peneliti Auriga Nusantara, Ramada Febrian, menyebut sepanjang 2018, ekspor sawit mencapai US$18,9 miliar dan menyerap tenaga kerja hingga mencapai 4,42 juta orang (Febrian, 2021). Perkebunan sawit juga berkontribusi sebagai penyumbang konflik agraria di Indonesia. Catatan Tahunan Komisi Pembaruan Agraria (KPA) 2021, sebagaimana dilansir CNN Indonesia, menyebutkan dari 74 konflik agrarian di Indonesia, 80% kasus terjadi di sektor perkebunan sawit dengan luas mencapai 255.006,06 hektar (CNN Indonesia, 2022).

Senada dengan catatan itu, riset Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI) melaporkan 69 konflik terjadi antara masyarakat lokal Kalimantan Barat dengan perusahaan sawit dalam dua dekade terakhir. Riset kolaboratif yang mendaras 32 dari 69 kasus itu juga menjelaskan dalam 66% dari 32 konflik yang terjadi, masyarakat tidak (atau hampir tidak) berhasil sama sekali mendapat penyelesaian atas keluhan mereka (Pahlevi, 2021). Artinya, masyarakat lokallah korban dari setiap konflik pada sektor perkebunan tanaman yang bukan endemik Indonesia.

Belajar dari praktik resiliensi masyarakat menggunakan kembali minyak kelapa, maka pemerintah seyogianya memberikan ruang besar bagi berkembangnya pengetahuan lokal tersebut menjadi industri baru yang berkelanjutan. Pengetahuan pembuatan minyak kelapa tercipta dari interaksi manusia Indonesia dengan kelapa, tanaman khas Indonesia. Pengetahuan tersituasi (situated knowledge) ini harus mampu dikompilasi, diakomodir, dipicu-luas, sehingga mampu memberikan manfaat ekologi dan ekonomi bagi rakyat banyak. Minyak kelapa lebih mampu menjawab tantangan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca pasca COP-26, solusinya ada pada tata kelola yang berkelanjutan.

 

Penulis Opini Mohammad Reza merupakan Pegiat Lembaga Gemawan

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x