Kalimantan Barat Dibebani 45 Izin Tanaman Industri di Hutan Alam

- 5 Juni 2024, 22:38 WIB
Diskusi publik dengan topik “Mengungkap Kejahatan Deforestasi di Kalimantan Barat”
Diskusi publik dengan topik “Mengungkap Kejahatan Deforestasi di Kalimantan Barat” /HMS/

WARTA PONTIANAK – Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki hamparan hutan yang luas. Namun, dibalik luasnya hutan di Kalimantan Barat, deforestasi terus terjadi.

Data Yayasan Auriga Nusantara menyebut Kalimantan Barat menduduki urutan ketiga, dengan luas deforestasi 21.003 hektar.

Berdasarkan data tersebut, SIEJ Simpul Kalimantan Barat menggelar diseminasi hasil liputan enam media kolaborasi di antaranya Pontianak Post, CNN Indonesia TV, Jaring.id, Mongabay, Betahita, dan Ekuatorial, yang didukung oleh SIEJ melalui Depati Project.

Penyebarluasan informasi ini diperkaya diskusi publik dengan topik “Mengungkap Kejahatan Deforestasi di Kalimantan Barat” di Warung Kopi Tegak Lurus Pancasila, Kota Pontianak, Selasa, 4 Juni 2024.

Diskusi menghadirkan lima narasumber, diantaranya Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat yang diwakili oleh Ervan Judiarto, Kepala Bidang Penatagunaan dan Pengelolaan Hutan dan Kepala Bidang Perlindungan, Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Hairil Anwar.

Selain itu, hadir pula Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Prof. Dr. Ir. Gusti Hardianysah, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat Hendrikus Adam, Ketua Link-AR Borneo Ahmad Syukri, dan Jurnalis kolaborator Depati Project, Arief Nugroho dari Pontianak Post.

Ketua Dewan Pengawas SIEJ, Andi Fachrizal yang membuka kegiatan itu melalui zoom meeting, memaparkan tentang keberadaan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

Baca Juga: Tujuh Hari Hilang di Hutan, Nenek di Kapuas Hulu Ditemukan Tim SAR Gabungan Dalam Keadaan Selamat

SIEJ atau masyarakat jurnalis lingkungan Indonesia merupakan organisasi jurnalis yang fokus pada isu-isu lingkungan.

Dikatakan Andi Fachrizal, dalam perjalanannya, SIEJ membentuk badan otonom bernama Depati Project, untuk memfasilitasi kolaborasi para jurnalis untuk meliput sebuah persoalan lingkungan secara indepth (mendalam) dan investigasi.

“Kolaborasi liputan sebagai strategi alternatif untuk menguatkan peran jurnalis dan media massa sebagai pengawas praktik-praktik kejahatan lingkungan,” kata pria yang akrab disapa Rizal Daeng itu.

Sebelum masuk sesi paparan narasumber, diskusi diawali dengan pemutaran hasil liputan junalis kolaborator CNN Indonesia TV berjudul “Melawan Penjagal Hutan Kalimantan”.

Koordinator SIEJ Simpul Kalimantan Barat, Arief Nugroho yang juga jurnalis kolaborator menjelaskan bagaimana proses liputan tersebut diproduksi, mulai dari pengumpulan data dan informasi, riset, penelusuran dokumen, hingga turun ke lapangan. 

Dalam liputannya, Arief menulis tentang aktivitas PT Mayawana Persada yang membuka hutan alam secara ugal-ugalan, dengan judul “Babat Alas Kalimantan”.

Baca Juga: Lima Hari Hilang di Hutan, Tim SAR Gabungan Temukan Sutarjo Dalam Kondisi Begini

Arief menceritakan, aktivitas perusahaan yang dibekali izin konsesi seluas 136.710 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2010 itu tidak hanya mengubah bentang alam hutan menjadi tanaman monokultur, tetapi juga merampas hak kelola masyarakat dan ulayat adat.

“Hutan Kalimantan Barat tidak sedang baik-baiknya. Tercabik-cabik oleh keserakahan perusahaan,” katanya.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, dalam paparannya juga menyebut hal yang sama.

Menurut Adam, kehadiran Mayawana menimbulkan berbagai persoalan. Tidak hanya berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan, tetapi juga adanya upaya kriminalisasi kepada warga sekitar konsesi.

Adam menjelaskan, sejak tahun 2016 hingga 2023, setidakya ada 35 ribu hektar mengalami deforestasi pada konsesi Mayawana. Belum lagi puluhan lahan milik warga, digusur tanpa ada kejelasan dan penyelesaian yang berkeadilan.

Baca Juga: Hutan Amazon, Hutan Hujan Paru-Paru Dunia

“Warga juga mengalami kriminalisasi. Bahkan salah satu warga dibui dengan tuduhan perusakan atau pencabutan bibit karena berjuang atas lahannya,” kata Adam.

Senada juga diungkapkan Ketua Link-AR Borneo Ahmad Syukri. Menurutnya, aktivitas PT Mayawana menyebabkan konflik agraria, di mana hampir keseluruhan wilayah yang ditetapkan sebagai konsesi berada di wilayah perdesaan yang menjadi tempat hidup masyarakat.

“Hilangnya tanah berarti hilang juga sumber penghidupan dan entitas sebagai masyarakat adat,” terangnya.

Dikatakan Syukri, Mayawana tidak hanya menggunduli hutan alam, tetapi juga telah merusak ekosistem gambut, terutama di areal Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Durian-Sungai Kualan, yang dapat meningkatkan potensi terjadinya banjir, karena curah hujan tidak dapat diserap dengan baik.

Selain itu, pembukaan kanal-kanal skala besar yang dilakukan perusahaan menyebabkan kekeringan pada areal gambut. Sehingga berpotensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan saat musim kemarau.

Baca Juga: Temui Bupati Kapuas Hulu, Masyarakat Dayak Punan Minta Pusat Akui Hak Ulayat di Kawasan Hutan Lindung

Syukri menyebut, ekosistem gambut yang berada di dalam konsesi Mayawana diketahui memiliki nilai konservasi tinggi. Di mana areal tersebut juga menjadi habitat orangutan, dan satwa dilindungi lainnya.

“Artinya, pembabatan areal itu akan mempercepat laju kepunahan satwa,” jelasnya.

Kepala Bidang Penatagunaan dan Pengelolaan Hutan Dinas LHK Kalbar Ervan Judiarto mengatakan, setidaknya ada 65 izin hutan tanaman industri di Kalimantan Barat, 25 izin di antaranya berada di hutan alam.

Ervan menyebut, dari jumlah total izin tersebut kebanyakan berada di hutan alam di Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Ketapang. Namun demikian, kata Ervan, ada salah satu izin yang telah dicabut.

“Kebanyakan dari mereka memiliki izin dari perusahaan besar, antaranya Sinar Mas dan Mayawana,” bebernya.

Terkait Mayawana, Ervan mengakui, perusahaan harus mematuhi aturan berdasarkan dokumen Rencana Kerja Tahunan. Menurutnya, sebelum melakukan aktivitas, perusahaan harus membuat RKT.

Baca Juga: Top Influencer Mami Louisse Pandu Shopee Live Lebih dari 60 Jam, Ada Flash Sale Motor dan Mobil Rp6 Ribu

Sementara itu, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Dr. Ir. Gusti Hardianysah, justru memilih untuk menyoroti soal definisi deforestasi. Menurut Prof Gusti, deforestasi memilik arti kerusakan hutan secara permanen. Menurut dia, deforestasi tidak berlaku pada hutan tanaman industri.

“Kita harus membedakan antara deforestasi dan degradasi. Kalau HTI, jelas itu degradasi, karena terjadi penurunan fungsi hutan,” tutupnya. ***

Editor: Yuniardi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah