Pasca Jepang menyerah pada 1945, dia kembali aktif di KNIL dengan pangkat kolonel.
Ia kemudia dilantik menjadi sultan Qadriyah Pontianak ke-7 pada 29 Oktober 1945.
Karir militernya kemudian melejit, dia naik pangkat menjadi Mayor Jenderal pada 1946 dan diangkat menjadi ajudan istimewa Ratu Kerajaan Belanda, Wihelmina.
Mungkin ini salah satu alasan mengapa sejarawan Anhar Gonggong tak setuju Hamid jadi Pahlawan Nasional.
Sultan Hamid II memiliki pemikiran bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia lebih cocok menjadi negara federasi.
Bersama dengan negara-negara kerajan se-Kalimantan Barat, Hamid membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), sebagai daerah otonom yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda.
Baca Juga: Pecat Kader Tak Loyal, DPC KKU Apresiasi Langkah DPD Partai Demokrat Kalbar
Menjadi Kepala DIKB sejak 1947 sampai 1950, Hamid juga ikut membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg atau Perhimpunan Musyawarah Federal bersama sejumlah tokoh politik negara-negara otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Bali.
Pada tahun 1949, Hamid terpilih menjadi ketua BFO, di era-era ini Indonesia memang sedang terpecah-pecah akibat Belanda yang masuk kembali dan mendirikan beberapa negara boneka.
Sultan Hamid II memperjuangkan sistem Federal dalam berbagai perundingan, mulai dari perundingan Malino sampai Konferensi Meja Bundar (KMB).