Kuasa Hukum Lili Santi Temukan Oknum BPN Palsukan Constatering Rapport untuk Terbitkan Sertifikat PT BRU

19 Mei 2024, 22:57 WIB
Lili Santi Hasan (tengah) didampingi kuasa hukumnya Herman Hofi Munawar /Dody Luber/Warta Pontianak

WARTA PONTIANAK - Proses hukum kasus sengketa tanah milik Lili Santi Hasan dengan PT. Bumi Raya Utama (BRU) masih terus berlanjut.

Kali ini, Lili Santi Hasan didampingi kuasa hukumnya Herman Hofi Munawar meninjau objek tanah yang bersengketa dengan PT. BRU di Desa Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya pada Minggu 19 Mei 2024.

Setidaknya terdapat dua titik lokasi tanah dengan sertifikat hak milik (SHM) Lili Santi yang dicaplok oleh PT. BRU. Lokasi pertama berada tepat di depan Makodam XII Tanjungpura, Jalan Alianyang, Kubu Raya.

Sementara, di lokasi kedua bersebelahan dengan Makodam XII Tanjungpura. Di dua objek tanah tersebut pun telah terpasang plang bertuliskan tanah ini milik Lili Santi Hasan dengan SHM 43361 dan 40092.

Baca Juga: Prof Salim Said Meninggal Dunia, Insan Pers Berduka

Adapun, tanah tersebut di bawah pengawasan dan penguasaan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Herman Hofi Law. Dalam plang yang dipasang juga dituliskan himbauan pelarangan masuk ke lokasi tanah tanpa izin dari pemilik dengan dasar KUHP pasal 551.

Dalam perkara ini, kuasa hukum Lili Santi Hasan pun telah menemukan sejumlah bukti pemalsuan akta otentik. Ditemukan juga, sejumlah oknum BPN yang memalsukan constatering rapport untuk proses penerbitan hak pakai PT. BRU, dan tanpa melalui prosedur, sehingga merugikan Lili Santi Hasan.

Lili Santi Hasan kemudian menceritakan, bagaimana asal usul hingga ia bisa memiliki lahan tersebut. Dikatakannya, tanah tersebut merupakan tanah sertifikat hak milik yang terbit tahun 1997 atas nama Kaprawi. Kemudian tanah dibeli oleh mendiang ayahnya pada tahun 2001.

"Tanah yang dibeli ini satu hamparan, dari sini sampai Sungai Seribu. Pada tahun 2005, tanah ini terbelah karena dibangun jalan. Jalan Trans Kalimantan dulu namanya, sekarang jadi Jalan Mayor Alianyang. Jadi terbelahlah tanah kami menjadi dua sisi, yakni sisi kanan dan kiri jalan," ujar dia.

Ketika tanahnya terbagi menjadi dua karena proyek pembangunan jalan, ia mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah Provinsi Kalbar sebesar Rp360 juta.

"Kami lepaskan hak tanahnya. Sisa tanah yang terbelah diajukanlah pemecahan bidang tahun 2015. Namun, anehnya tahun 2007 sertifikat BRU terbit di atas tanah kami dan di atas tanah yang sudah dibebaskan oleh negara," ujar dia.

Baca Juga: Tips Mendaki Gunung Untuk Pemula, Panduan Praktis Menuju Puncak

Jadi, sekarang tanah jalan ini sudah menjadi milik PT. BRU juga, milik hak pakainya. Ia mengatakan, sedangkan tanahnya satu hamparan, dibelakang juga ada tanah masyarakat yang terbit tahun 1973.

"Kami lagi berjuang mencari keadilan karena jadi korban mafia tanah. Kata Menteri Agraria mau diberantas, namun belum diberantas. Mau sampai kapan kami dizalimi sama orang kaya. Tanah ini untuk pengembangan Mall GAIA dan BRU telah merampas tanah kami," ujarnya.

Sementara kuasa hukum Lili Santi Hasan, Herman Hofi Munawar mengatakan, persoalan ini sudah dilaporkan ke Polda Kalbar dan proses penanganan perkaranya pun cukup panjang karena sudah hampir 2 tahun, dan sekarang sudah ketahap penyidikan.

"Hanya satu langkah lagi untuk menentukan tersangkanya. Ada siapa saja pihak-pihak terlibat dalam pemalsuan dokumen yang memunculkan Bumi Raya ini mendapatkan sertifikat hak pakai," kata Herman.

Dikatakan Herman, pihaknya sudah memiliki data yang cukup lengkap terkait bagaimana pemalsuan data otentik yang dilakukan oleh PT. BRU untuk menguasai tanah milik Lili Santi Hasan.

"Saya pikir tidak ada alasan lagi dari pihak penyidik Polda Kalbar untuk tidak segera menetapkan tersangkanya. Segera dilakukan proses hukum sesuai dengan ketentuan dalam hukum acara yang berlaku," ujar dia.

Anehnya, di dalam hak pakai dan hak milik PT. BRU, juga termasuk di jalan depan tanah milik Lili Santi Hasan. Padahal, kata dia, tanah tersebut sudah dibebaskan pada tahun 2005 silam.

"Ini sudah gak masuk akal. Apalagi constatering rapport ini adalah satu landasan untuk terbitnya sertifikat hak pakai, itu landasannya. Nah, constatering rapport yang mereka lakukan, yang ada itu, banyak pemalsuan data yang dilakukan. Bahkan, hasil penyelidikan Polda Kalbar ada beberapa yang diminta keterangan dari BPN sendiri, bahwa pihak BPN mengakui tidak turun ke lapangan, sehingga muncullah sertifikat hak pakai Bumi Raya," jelas dia.

Baca Juga: Korban Kesetrum di Gardu Listrik Pontianak, Ternyata Seorang Residivis

Jadi tidak ada alasan, penyidik Polda Kalbar tidak segera menetapkan tersangkanya. Ia mengatakan, tidak ada alasan juga gelar perkara mesti dilakukan di Mabes Polri seperti yang dikehendaki oleh PT. BRU.

"Ini suatu hal yang tidak masuk akal. Karena boleh-boleh saja Mabes Polri mengambilalih perkara ini, asalkan ada alasan. Namun, ini tidak cukup alasan untuk bisa diambil alih oleh Mabes Polri, karena proses hukum di Polda Kalbar sudah berjalan," tegas Herman.

Dikatakannya lagi, tidak ada alasan juga ketika penetapan tersangkanya harus menunggu dulu pendapat dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menentukan gelar perkara bersama.

"Jadi, ini adalah wewenang sepenuhnya Polda Kalbar untuk menentukan siapa tersangkanya. Persoalannya nanti diterima kejaksaan, apakah P21 atau P19 itu cerita lain. Kalau misalnya menurut penyidik Polda Kalbar itu sudah betul jalan ceritanya, sesuai dengan mekanisme yang ada, dan diyakini dua alat bukti minimal sudah ada, sudah wajar ditetapkan tersangkanya, dan ternyata JPU tidak ada respon misalnya, kita punya mekanisme lagi, karena kita punya Kejaksaan Agung," ujar dia.

Dalam hal ini, tambah dia, Polda Kalbar tidak perlu seolah-olah takut dengan kejaksaan. Jadi, tetaplah berdiri sesuai dengan fungsi dan mekanisme masing-masing.

"Kita yakin bahwa penyidik Polda Kalbar masih punya hati nurani. Kita yakin mereka masih punya kemampuan untuk bisa menegakan hukum yang telah diamanahkan di negara ini," pungkas dia.***

Editor: Y. Dody Luber Anton

Tags

Terkini

Terpopuler