Ini Makna dan Filosofi dari Perintah Zakat yang Jarang Diketahui Orang

- 3 Mei 2021, 11:00 WIB
Penyaluran zakat oleh Baznas ke salah seorang anak dari anggota keluarga yang sebar kekurangan, akibat terdampak pandemi covid-19.
Penyaluran zakat oleh Baznas ke salah seorang anak dari anggota keluarga yang sebar kekurangan, akibat terdampak pandemi covid-19. /Twitter @baznasindonesia/
  1. Makna Kemanusiaan

Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah sosial yang berusaha mengentaskan kemiskinan umat. Dengan zakat, Islam telah menunjukkan semangat sosial dan perlindungan antara mereka yang kaya untuk memperhatikan mereka yang miskin sehingga tidak adanya ketimpangan sosial. Hal ini juga mengisyaratkan agar umat Islam menjadi manusia kaya ‎dalam sebuah ekuilibrium yang proporsional. Tidak sampai tenggelam dalam ‎bianglala kehidupan yang penuh pesona duniawi, sebab ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin.

Baca Juga: Apakah Mahasiswa Perantau Berhak Dapat Zakat Fitrah? Berikut Penjelasannya

Hal tersebut secara tidak langsung merupakan kritik terhadap paham kapitalisme yang menciptakan ketimpangan yang sangat jauh antara si kaya dan si miskin. Orang kaya semakin bertambah kekayaannya. Sementara rakyat miskin semakin jauh dari sekadar memenuhi standar hidup layak. Kita mesti bersyukur dengan adanya kewajiban menunaikan zakat, sebab di dalamnya terdapat usaha penataan struktur sosial yang secara bertahap namun masif dilakukan oleh Islam.

 

 

  1. Makna Perubahan Sosial

Zakat dalam Islam tidak memandang kemiskinan sebagai sebuah sunnatullah yang berlaku pada manusia, namun juga menawarkan solusi pengentasannya. Meskipun kemiskinan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihilangkan secara mutlak, tetapi dengan adanya zakat dapat diatasi dan diperbaiki kualitasnya sehingga tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.

Dengan demikian, zakat dipahami sebagai bentuk keadilan distributif. Pemaknaaan dari Majelis Tarjih ini ingin meluruskan anggapan bahwa siapapun yang tidak memiliki tanggungjawab, tidak mendapatkan apa-apa. Dengan kata lain, tidak ada keadilan bagi yang tidak berkontribusi. Misalnya, kaum difabel, orang-orang lansia, atau golongan miskin yang dilemahkan oleh sistem. Teori keadilan distributif ini kemudian direvisi oleh al-Qur’an, sehingga istilah keadilan dalam Islam yang tepat adalah keadilan distributif-terkoreksi.

Baca Juga: Bolehkah Memberi Pengemis dengan Niat Zakat? Begini Penjelasan Ulama  

Lalu seperti apa koreksinya, hal tersebut dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat: 19, QS. Al-Baqarah: 267, QS. At-Taubah: 34-35, dan dari beberapa hadis Nabi menerangkan bahwa dalam harta kekayaan yang kita miliki—atau tepatnya yang dititipkan Allah kepada kita— ada hak kaum mustadh’afin sebesar 2,5%. Mustadl’afin adalah mereka yang bukan hanya fakir miskin alamiah, tetapi juga mereka yang menjadi korban struktural.***

 

Halaman:

Editor: Faisal Rizal

Sumber: Muhammadiyah.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah