Bantu Kesepakatan Arab Saudi dan Iran, Dominasi China di Timur Tengah Meningkat, Bagaimana Nasib AS?

- 16 Maret 2023, 15:31 WIB
Dominasi China di Timur Tengah meningkat usai bantu kesepatakan  berserjarah Arab Saudi dan Iran. Bagaimana Nasib AS?
Dominasi China di Timur Tengah meningkat usai bantu kesepatakan berserjarah Arab Saudi dan Iran. Bagaimana Nasib AS? /Foto: China Daily via REUTERS/

WARTA PONTIANAK - Upaya China untuk menyaingi Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang berpengaruh di Timur Tengah kian meningkat usai berhasil menengahi kesepakatan bersejarah untuk memulihkan hubungan antara Iran dan Arab Saudi.

China tampakanya akan mengambil peran lebih besar di Timur Tengah dan berpotensi menantang dominasi AS di kawasan negara kaya minyak tersebut. Berdasarkan kesepakatan yang dicapai di Beijing pada pekan lalu, Iran dan Arab Saudi setuju untuk membuka kembali kedutaan mereka dan bertukar duta besar setelah tujuh tahun hubungan diplomatik terputus.

Persaingan antara Iran dan Arab Saudi, masing-masing dengan mayoritas Muslim Syiah dan Sunni, telah mendominasi politik regional dalam beberapa tahun terakhir, mempengaruhi tidak hanya kedua negara melainkan juga kawasan lain. Kedua negara itu terlibat dalam perang proksi dari Yaman sampai Suriah dan di tempat lain.

Baca Juga: Asal Mula Pandemi COVID-19, FBI Tuding Kebocoran Laboratorium Wuhan di China Penyebabnya

Dalam hal ini, China menggambarkan penengahan diplomasinya sebagai hasil utama yang dicapai melalui upaya bersama ketiga negara, yakni Arab Saudi, Iran dan China. Dengan China menekankan tidak mengejar kepentingan apa pun di Timur Tengah.

"China tidak berniat dan tidak akan berusaha mengisi apa yang disebut kekosongan atau membuat blok eksklusif," kata juru bicara China dalam sebuah pernyataan sehari setelah kesepakatan itu dicapai.

"China akan menjadi promotor keamanan dan stabilitas, mitra untuk pembangunan dan kemakmuran, dan pendukung pembangunan Timur Tengah melalui solidaritas," sambungnya.

Peneliti di International Institute for Strategic Studies, IISS Camille Lons menyebut, kesepakatan itu adalah sebuah kemenangan besar bagi diplomasi China. Kesepatan itu juga menandai perubahan dalam strategi China yang biasanya menolak untuk terlibat dalam perselisihan regional.

"Dengan cerdas China mendapat manfaat dari payung keamanan pimpinan AS sambil melakukan bisnis dengan seluruh kawasan," tulisnya.

Baca Juga: Lawan Rusia, Jerman Berupaya Gandeng India untuk Dijadikan Sekutu Negara Barat

China sebenarnya telah lama mengembangkan hubungan ekonomi dan politik yang kuat dengan Riyadh dan Teheran. Arab Saudi adalah pemasok minyak terbesar bagi China, dengan perdagangan antara kedua negara mencapai USD 87 miliar atau setara Rp1.000 triliun pada tahun 2021. Perdagangan antara Iran dan China mencapai lebih dari USD 16 miliar atau setara Rp246 triliun pada tahun yang sama. 30 persen perdagangan luar negeri Iran bergantung pada China, yang telah berjanji melakukan investasi senilai USD 400 miliar atau setara Rp6 ribu triliun di Iran selama 25 tahun.

Presiden China Xi Jinping telah melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada bulan Desember untuk kunjungan kenegaraan, dan Presiden Iran Ebrahim Raisi mengunjungi Beijing pada Februari 2023 lalu. Pakar China di National University of Singapore (NUS) Ian Chong mengatakan, dengan memfasilitasi kesepakatan ini, Beijing memberi isyarat bahwa ia sekarang bukan hanya pelaku ekonomi terkemuka, melainkan juga bersedia terlibat dalam politik di kawasan Timur Tengah.

Tuvia Gering, pakar hubungan China-Timur Tengah di Institute for National Security Studies (INSS) di Israel mengatakan, Beijing berharap dapat mengukir peran yang lebih besar untuk dirinya sendiri karena kawasan itu telah menjadi penting secara strategis.

"Ini bukan hanya untuk keamanan energi, tetapi pada keseluruhan area yang lebih luas lagi,” kata Tuvia Gering kepada DW, merujuk pada investasi China dalam infrastruktur regional sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) bernilai miliaran dolar AS.

Kesepakatan Arab Saudi-Iran datang pada saat banyak negara di kawasan itu menganggap AS mengurangi keterlibatannya di sana.

"Ini tidak berarti Beijing bisa menggantikan Washington di Timur Tengah," kata Tuvia Gering.

Baca Juga: Krisis Pangan di Korea Utara Memburuk, Kim Jong Un Minta Jajarannya Lakukan Transformasi Produksi Pertanian

AS menyambut baik upaya China untuk membantu mengakhiri perang di Yaman dan mengurangi ketegangan di Timur Tengah, tetapi menolak anggapan bahwa mereka mundur dari wilayah tersebut. AS juga menekankan bahwa perjanjian itu dirintis selama dua tahun.

"Ini bukan tentang China. Kami mendukung setiap upaya untuk mengurangi ketegangan di kawasan," kata juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby.

John Calabrese, direktur Proyek Timur Tengah-Asia di Middle East Institute mengatakan peran Beijing dalam menengahi kesepakatan itu tidak secara mendasar mengubah posisi Washington. Dalam pandangannya, tujuan utama Beijing di kawasan adalah mempertahankan kepentingan ekonominya dan memperluas pemerataan ekonominya.

"Ini membutuhkan stabilitas regional sejauh AS masih siap melakukannya,” katanya, seraya menambahkan bahwa de-eskalasi antara Teheran dan Riyadh adalah untuk kepentingan Timur Tengah, China dan AS.

Camille Lons dari IISS menjelaskan, perjanjian tersebut menunjukan bahwa negara-negara Teluk seperti Arab Saudi bersedia untuk mendiversifikasi keamanan dan kemitraan strategis mereka, sehingga mereka tidak bergantung sepenuhnya pada AS.

Dia menggambarkan pendekatan negara-negara ini sebagai langkah pragmatis, dan memperingatkan agar tidak melebih-lebihkan pentingnya Beijing bagi kawasan itu.

"Dalam hal jaminan keamanan, mereka sepenuhnya sadar bahwa AS tetap menjadi mitra utama mereka," ujarnya.***

Editor: Y. Dody Luber Anton

Sumber: DW


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x