Hidup Dalam Bayang-bayang Label: ‘Orang Barak’

- 18 April 2021, 15:22 WIB
Karikatur Orang Barak
Karikatur Orang Barak /Sopian Lubis/Warta Pontianak

WARTA PONTIANAK - Suib masih bayi saat konflik antaretnis Madura dan Dayak terjadi di Pahauman, Kabupaten Landak pada 1999 lalu. Keluarganya dan 59 keluarga lainnya terusir dari kampung halaman dan pindah ke wilayah Sekunder C Desa Rasau Jaya III. Hingga kini mereka masih mendapat panggilan sebagai ‘orang barak’. 

Suib tak ingat dengan jelas apa yang terjadi saat itu karena ia masih bayi. Sepanjang ingatannya ia dan keluarganya sudah tinggal di pengungsian hingga kini ia dewasa. Cerita-cerita dan ingatan sekilas terkait kejadian itu dia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Keluarganya terpaksa mengungsi, demi keselamatan mereka.  Selanjutnya mereka direlokasi pemerintah ke wilayah Sekunder C Desa Rasau Jaya III. Masyarakat Sekunder C sendiri menamai wilayah relokasi sebagai ‘barak’.

Baca Juga: Baharkam Polri Ungkap Kasus 16 Ton Bom Ikan di Madura

Sekalipun sekarang sudah terbiasa dengan panggilan itu, bagi Suib panggilan ‘orang barak’ sendiri menjadi pengingat bahwa ia dan 59 keluarga lainnya yang tinggal di sana adalah pendatang. Kenyataan ini yang membuat Suib seringnya merasa malu.

“Sekarang kami terima saja kalau dipanggil pengungsi, karena kami memang pengungsi. Dulu kami sempat malu karena bukan orang asli. Orang usiran,” tutur Suib, saat ditemui pada Minggu (28/3/2021).

Suib merasa label sebagai ‘orang barak’ akan terus membayangi hidupnya. Apalagi seiring waktu berjalan ada saja stigma yang dilekatkan pada ‘orang barak’. Di mana stigma ini seringnya dikaitkan dengan etnis mereka sebagai orang Madura.

Konflik antaretnis Madura dan Dayak yang terjadi di Pahauman, Kabupaten Landak, pada tahun 1999 berujung pada terusirnya etnis Madura ke beberapa daerah di Kalimantan Barat, satu di antaranya di Desa Rasau Jaya III, Kabupaten Kubu Raya. Setelah 21 tahun berlalu, masyarakat Madura yang direlokasi ke Rasau Jaya, masih merasakan stigma sebagai ‘orang barak’. 

Pelabelan ‘orang barak’ bermula sejak pindahnya 60 kepala keluarga ke daerah Rasau Jaya yang menjadi tempat relokasi warga Madura korban konflik di Pahauman. Aswat,  Ketua RT 02/ RW 12 Desa Rasau Jaya Tiga yang juga berlatar belakang etnis Madura, menceritakan bahwa dulu warga Madura di relokasi ke dua daerah, yakni Kecamatan Sungai Raya dan Rasau Jaya.

Kedatangan mereka sempat mendapat penolakan dari warga Rasau Jaya, karena tidak adanya komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat setempat. “Kite (etnis Madura) dianggap akan menguasai daerah, kasar, dan terkenal same carok (berkelahi dengan menggunakan senjata tajam),” ujar Aswat. 

Baca Juga: Mahfud MD Geram saat Massa Pendung Habib Rizieq Shihab 'Geruduk' Rumah Ibunya di Madura

Warga yang menolak, ternyata mendapat informasi bahwa masyarakat Madura tersebut memiliki motivasi negatif. “Kami waktu itu menolak mereke, karne beredar di sinek (beredar kabar), mereke maok menguasai wilayah sinik (mereka ingin menguasai daerah ini). Sehingga kami menolak kedatangan 100 KK itu,” ungkap Rosita (43) satu diantara warga Sekunder C Desa Rasau Jaya III yang menolak warga relokasi. 

Dia menyebutkan, semula masyarakat menerima kedatangan para pengungsi dengan jumlah 60 Kartu Keluarga (KK). Namun, berselang beberapa pekan kemudian mereka mengajukan 100 lebih KK ke kepala desa. Masyarakat Rasau Jaya berunding dan mengambil keputusan untuk tidak menerima pertambahan jumlah pengungsi. 

Di bawah pimpinan Karno, warga Rasau Jaya, masyarakat bersama-sama berbicara dengan pemerintah untuk mencari jalan keluarnya. Masyarakat tetap menolak kedatangan 100 lebih KK, namun menerima 60 KK yang diajukan pada saat awal rencana relokasi. 

Selanjutnya 60 KK tersebut diminta untuk menandatangani perjanjian, agar sama-sama menjaga keamanan dan tidak melakukan tindakan buruk. Perjanjian ini juga turut ditandatangani oleh perwakilan masyarakat Rasau Jaya dan perwakilan pemerintah Kabupaten Mempawah (sebelum pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Kubu Raya).

Baca Juga: Massa Pendukung Habib Rizieq Shihab 'Geruduk' Rumah Mahfud MD di Madura

Iin Sumirat, Kepala Desa Rasau Jaya III yang sudah menjabat selama empat periode, membenarkan hal tersebut. “Mereka datang atas persetujuan dari Kades terdahulu, dan diterimanya mereka setelah disepakati bersama sebuah perjanjian. Isi perjanjiannya, kalau ada melakukan hal yang buruk atau keributan, mereka bersedia dipindah atau diusir,”  ujarnya saat ditemui di Posyandu Rasau Jaya III, Senin (05/04/2021).

Krisis Identitas Hingga Depresi

Mengutip dari jurnal berjudul “Identitas dalam Konflik di Kalimantan Barat (Sebuah Pemetaan Konflik)” yang ditulis oleh Faraz Sumaya, setidaknya ada 17 konflik yang telah terjadi di Kalimantan Barat sejak tahun 1966 hingga 2008. Dari 17 konflik tersebut didominasi oleh konflik antaretnis. Konflik antaretnis Dayak-Madura menjadi konflik dengan jumlah korban terbanyak yang pernah terjadi di Kalimantan Barat. Imbasnya selama dua dekade terakhir etnis Madura mengalami stigma berupa pelabelan.

Fitri Sukmawati, Ketua Himpunan Psikologi (HMPSI) Wilayah Kalimantan Barat, mengatakan bahwa pelabelan bisa mengakibatkan krisis identitas hingga depresi. “Ketika orang merasa krisis identitas, itu kembali ke individunya. Dia mungkin mengalami masa depresi, masa frustasi dia, dan itu harus dilewati,“ ujar perempuan yang juga berprofesi sebagai dosen ini, pada Senin(29/03/2021).

Korban pelabelan akan merasa rendah diri, karena banyak menerima dan menyerap informasi negatif tentang identitas dirinya. Apabila korban pelabelan tak memiliki sosok contoh baik dengan identitas yang sama pada dirinya, maka orang tersebut tak mampu menepis labelisasi. 

Baca Juga: Mulai 1 Januari 2021 Penjualan Premium di Jawa, Madura dan Bali Dihentikan, Wilayah lain Menyusul

Berdasarkan jurnal berjudul “Depresi: Suatu Tinjauan Psikologis” yang ditulis Jaka Arya Pradana, disebutkan bahwa depresi disebut sebagai gangguan yang tak terlihat atau invisible disease. Depresi, umumnya juga tidak disadari oleh penderita maupun orang-orang di sekitarnya. Satu diantara faktor penyebab depresi adalah peristiwa traumatis yang terjadi di masa lalu. 

Penderita depresi menunjukkan kontrol diri rendah, yaitu evaluasi diri yang negatif, harapan terhadap performa rendah, suka menghukum diri dan sedikit memberikan hadiah terhadap diri sendiri. Mereka yang mempunyai kepercayaan diri rendah, pesimis terhadap diri sendiri dan dunia, atau cepat diliputi stres cenderung mudah terkena depresi.

Lebih lanjut Fitri menyebut bahwa upaya mengeneralisasi etnis Madura dengan label tertentu adalah keliru, sebab mereka adalah korban konflik, bukan pelaku.

Sebagai orang yang mengalami labelisasi, Suib berupaya menepis kekeliruan tersebut. “Malunye saye tu ndak bise jawab, kalo suku saye dibilang kayak gituk karene ndak tau persis sejarahnye dulu dan asal muasal terjadinye. Sekarang saye udah tau menjawabnye, karene tidak semue orang Madura tu jelek. Itu akibat perorangan,” kata Suib.

Bangun Ikatan Kemanusiaan

Rusli, tokoh agama di wilayah Sekunder C, tidak memungkiri label ‘orang barak’ masih melekat hingga saat ini kepada warga Madura yang tinggal di kawasan relokasi. 

Di sisi lain dia menilai bahwa pengungsi dari etnis Madura sudah membaur dengan masyarakat. Hal ini tercermin dengan sikap saling mengundang di setiap acara masing-masing etnis. Karne kite ginik saling mengundang, ini pun die ade hajatan, kite pegi ade undangannye. Seperti hajatan nikahan, Maulid, dan Isra’ Miraj. Membaur dah kite tuh!” ungkap lelaki paruh baya ini saat ditemui pada Sabtu (27/03/2021).

Dengan kondisi yang sudah membaur, Rusli berharap tidak terjadi konflik kekerasan antara masyarakat dengan warga relokasi. Demi mencegah terjadinya konflik,  Rusli mengatakan musyawarah sebagai jalan yang dipilih, jika terjadi permasalahan antara etnis Madura dengan etnis setempat.

Baca Juga: IKAMA Bersinergi Bangun Masyarakat Madura Bermartabat

Pentingnya upaya membuat ruang-ruang perjumpaan demi mencegah konflik, disampaikan Eka Hendry, Dosen IAIN Pontianak sekaligus direktur  Center  for Acceleration of Inter-Religious and Ethnic Understanding (CAIREU). Dia menegaskan bahwa stigma dan prasangka terjadi karena tidak adanya interaksi antar-individu atau antar-kelompok.

“Prasangka itu karne kita saling menjauh. Iya kan? Padahal sebenarnya selesai kalo saling mendekat,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Kamis (08/04/2021).

Eka menyebut perlunya forum silaturahmi bagi generasi muda lintas etnis, membangun dialog lintas budaya dan etnis, sebagai upaya merawat perdamaian. “Bangun ikatan kemanusiaan, pertemanan. Kita bicara tentang masa depan kita, tentang pembangunan, tentang peningkatan sumber daya manusia,” tutupnya. ***

 

*Liputan yang dirangkum Sopian Lubis, Mahasiswa IAIN Pontianak ini menjadi bagian dari program Pelatihan dan Hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang didukung oleh USAID MEDIA, Internews dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).*

Editor: M. Reinardo Sinaga

Sumber: SEJUK


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah