Potret Pernikahan Beda Agama di Kota Paling Toleran, Masih Terbelenggu Syarat Administrasi

- 10 Januari 2022, 19:26 WIB
Ilustrasi Pernikahan di Indonesia
Ilustrasi Pernikahan di Indonesia /Kurnia Azzahra/Warta Pontianak

WARTA PONTIANAK - Pernikahan beda agama masih menemui kendala di Indonesia. Termasuk di Singkawang, kota yang berulang kali meraih peringkat sebagai Kota Tertoleran versi SETARA Institute, bahkan peringkat dua Kota Toleran pada tahun 2020.

Kami menemui dua pasangan suami istri, warga Singkawang yang berbeda agama. Mereka tak menyerah meski sempat menemui kendala administrasi dan persetujuan keluarga. Mereka berjuang untuk menikah dan menerapkan sikap saling menghargai dalam rumah tangganya, yang kini sudah memasuki usia pernikahan enam tahun.

Seperti yang diakui oleh pasangan AS dan istrinya AF. Keduanya merupakan pasangan berbeda agama, dimana AS merupakan seorang Muslim dan AF merupakan seorang Buddhis.

Pernikahan pasangan ini sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 2016 silam saat keduanya berusia 28 tahun, di satu Kantor Urusan Agama (KUA) di Kota Singkawang.

Proses untuk mencapai pernikahan oleh pasangan ini pun cukup Panjang. AF harus terlebih dahulu berpindah agama dan menjadi seorang mualaf dan menikah secara agama Islam.

Langkah tersebut terpaksa dilakukan AF dan AS, demi memenuhi syarat administrasi yang diterapkan di Kota Singkawang. Yakni kedua mempelai memeluk agama yang sama. Seperti diungkapkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Singkawang Deson Lingga, S.H.

Baca Juga: Reses ke Singkawang dan Sambas, Cornelis Bagikan Sembako dan Serap Aspirasi Warga

Agar bisa menikah, kata Deson, satu di antara pasangan harus “tunduk” terhadap agama pasangannya, sehingga pernikahan dapat dilakukan.

"Jadi kalau dia (red,-pasangan) berbeda agama, yang menikahkannya siapa?" ujar Deson bertanya.

Untuk dapat mencatat pernikahan sepasang suami-istri sehingga sah di mata negara, lanjut Deson, pasangan harusmembawa bukti nikah yang telah disahkan oleh pihak yang menikahkan, baik itu pihak gereja, vihara, ataupun pura.

"Karena bukti nikah yang sah adalah salah satu syarat utama untuk mencatatkan pernikahanya di sini (red,- Dukcapil)," terangnya.

Ketika dihadapkan kendala administrasi tersebut, AF dan AS memilih untuk melakukan upaya sesuai kesepakatan. Pernikahan mereka dilangsungkan secara Islam. Selang berberapa pekan, setelah menjalin hubungan pernikahan, AF kemudian kembali memeluk agama semula, yakni Buddha.

Agar bisa menikah, diakui keduanya penuh dengan perjuangan. Hal yang paling berat menurut mereka adalah penentangan oleh kedua orangtua.

"Itu sih yang paling susah, ditolak keluarga, bilangnya begini begitu. Cuma ya bagaimana saya sama suami berusaha meyakinkan keluarga kami masing-masing dengan rencana kami. Sampai akhirnya keluarga mungkin udah menyerah dan izinkan," ungkap sang istri, AF.

Kini, keduanya sudah menjalani pernikahan selama sekitar enam tahun, terhitung sejak keduanya sah menikah di pertengahan tahun 2016 lalu.

Perihal kewajiban dalam agama, dijalani keduanya sesuai kepercayaan mereka masing-masing, AS tetap beribadah di rumah dan sesekali ke masjid, sedangkan AF beribadah di vihara.

"Untuk ibadah kami masing-masing. Jadi urusan ibadah tidak ada yang menyulitkan sih sebetulnya," kata sang suami, AS.

Namun, hal tersebut berbeda dengan perihal makanan. Sebagai suami, AS membuat batasan agar AF tidak mengonsumsi makanan yang dilarang dalam agama Islam, seperti daging babi.

Batasan tersebut, menurut AS sudah ia sampaikan kepada AF, sejak keduanya berencana untuk melangsungkan pernikahan.

"Selain itu saya tidak ada larangan khusus, hanya jenis makanan yang dilarang Islam saja yang saya batasi," katanya.

Dari pengakuan AF, sebagai istri dirinya tidak merasa keberatan dengan aturan yang dibuat oleh suaminya tersebut. Menurutnya, masih ada banyak makanan lain yang bahkan ia sukai selain makanan yang diharamkan dalam islam.

"Ya tidak jadi masalah sih, ada banyak juga kan makanan lain, saya juga kan orangnya makan tidak pilih-pilih, jadi bukan masalah si kalau soal makanan," katanya.

Selain itu, dari hubungan pernikahan keduanya, kini telah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia tiga tahun.

AS mengatakan, dari hasil diskusi bersama AF, anak laki-lakinya ini akan mengikutinya sebagai seorang muslim, hingga ketika telah dewasa kelak, dirinya akan menyerahkan sepenuhnya agama yang dianut anaknya sesuai keinginan anaknya tersebut.

"Untuk saat ini dia tetap saya besarkan sebagai muslim, sampai nanti dia sudah besar, pilihan sudah jadi tanggung jawab dia sepenuhnya, apakah tetap muslim, atau ikut ibunya, atau ke keyakinan lain, itu pilihan dia," terangnya.

Sama halnya seperti AS dan AF, pengalaman menikah berbeda agama juga dirasakan oleh pasangan lainnya di Kota Singkawang, yakni WP (33) yang beragama Islam dan istrinya DL (27) yang beragama Kristen Protestan.

Keduanya menikah pada tahun 2014 lalu, di satu gereja di Kota Singkawang. Lalu berberapa pekan kemudian menikah di KUA Singkawang.

Namun, sebelum dilangsungkan pernikahan, WP dan DL terlebih dahulu harus melewati tantangan berat mereka, yakni meyakinkan orangtua DL yang merupakan seorang pemuka agama.

"Ayah dia (DL) kan seorang pemuka agama, jadi tantangan terberat menurut saya adalah meyakinkan orangtua dia," kata WP.

Kala itu, untuk meyakinkan orangtua DL, WP terus menerus menjelaskan dan memberikan pengertian kepada orangtua DL bahwa dirinya pasti membebaskan DL untuk tetap menganut agamanya, dan tidak sedikitpun membatasi DL dengan agamanya.

Sekitar dua bulan berjalan, orangtua DL akhirnya memberikan izin dan merestui keduanya untuk melangsungkan pernikahan.

Sementara orangtua WP sedari awal telah menyetujui hubungannya dan DL. Menurut penuturan WP, hal ini lantaran kedua orangtuanya merupakan pasangan berbeda agama, yakni  Islam dan Kristen Protestan.

Meski telah melewati tantangan terberatnya, pernikahan keduanya tidak langsung berjalan mulus begitu saja. Saat di gereja tempat ia dan istrinya hendak menikah, keduanya sempat mendapatkan penentangan dari sang pendeta.

Ia bahkan harus berdebat alot dengan sang pendeta tersebut, hingga pada akhirnya dinikahkan oleh sang pendeta.

"Iya sempat debat, sempat sampai buka Alkitab. Kemudian mungkin beliau sudah menyerah, lalu baru lah akhirnya beliau menikahkan kami," ujar WP.

Selang berberapa pekan menikah di gereja, WP dan DL menikah secara Islam di KUA dengan terlebih dahulu mengubah status agama pada kolom KTP sang istri menjadi Islam di Disdukcapil Singkawang.

Dengan demikian, pernikahan WP dan DL diakui oleh negara hingga memiliki buku nikah yang telah dicatatkan oleh KUA setempat.

Dalam pernikahan tersebut, WP dan DL kini telah dianugerahi seorang putri dan seorang putra, masing-masing berusia lima dan tiga tahun.

WP mengatakan, ia dan istrinya tidak menentukan secara spesifik agama yang dianut oleh kedua anaknya tersebut. Ia tetap mengajarkan ajaran Islam kepada anak-anaknya, begitu pula sang Istri tetap mengajarkan ajaran agama Protestan kepada putra dan putrinya.

"Kami membebaskan mereka memilih agama mana pun yang menurut mereka sesuai untuk pribadi mereka, jadi tidak ada pemaksaan dalam memilih agama," ujarnya.

Saat menikah, WP dan DL juga tidak menentukan kesepakatan ataupun perjanjian tertentu. Termasuk pula perihal makanan. Sama sekali WP tidak membatasi DL untuk masak ataupun makan makanan yang dilarang dalam Islam.

Meski begitu, hubungan mereka diakui keduanya berjalan dengan sangat baik dan lancar. Begitu pula hubungan mereka dengan keluarga besar keduanya.

Bahkan dihari besar keagamaan seperti Idulfitri dan Natal dijalani dengan penuh suka cita. Saat Idulfitri WP dan DL bersama-sama berkunjung ke rumah orang tua dan keluarga WP. Sedangkan saat Natal, mereka juga berkunjung ke rumah orang tua dan keluarga DL.

 Baca Juga: Rizky Billar dan Lesty Kejora akan Segera Meluncur ke Mahligai Perkawinan

Pernikahan adalah Forum Internum

SETARA Institute tidak memasukkan kebebasan dalam pernikahan berbeda agama, ke dalam indikator penilaian daerah paling toleran di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan.

Menurut Halili, pernikahan merupakan perihal yang personal atau pribadi. Oleh sebab tersebut, pihaknya tidak masuk dalam privat seseorang dalam penilaian daerah tertoleransi.

"Kami tidak masuk ke area privat semacam perkawinan. Itu kebebasan yang sifatnya internal, forum internum, yang orang lain tidak bisa intervensi," ujar Halili.

Pernikahan merupakan forum internum yang tidak dapat dibatasi dan diintervensi oleh negara. Hal ini juga diungkapkan oleh Subandri Simbolon yang merupakan Dosen di Sekolah Tinggi Agama Katolik (STAKat) Negeri Pontianak kepada Tribunpontianak.

Menurut pria lulusan S2 Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, pernikahan termasuk dalam forum internum dan berkaitan erat dengan keyakinan.

Dalam forum internum, lanjutnya, negara hanya bisa menjamin bukan intervensi langsung, sehingga, peran negara itu adalah pasif.

"Jadi, pernikahan perlu dilihat dulu. Kalau seseorang ingin menikah, terserah menikah dengan seagama, dengan beda agama, itu forum internum. Artinya, tidak ada yang bisa membatasi pilihan individu untuk menikah atau pun untuk tidak menikah," ujar Subandri.

Namun, batasan tersebut tidaklah sepenuhnya tanpa batas. Menurut Subandri, pernikahan masih memiliki batasan oleh negara, seperti batas usia minimal, dimana batasan ini dipertimbangkan berdasarkan norma-norma pembatasan.

Negara juga dapat mengintervensi apabila warga memintanya untuk intervensi, seperti kasus perceraian yang diurus oleh negara.

Ia juga mengutip Pasal 16 Deklarasi Universam HAM, dalam ayat 1 disebutkan laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.

"Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian," ujarnya.

Kemudian pada pasal 2 disebutkan perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai. Pada pasal ke-3, keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Besok Rabu 5 Mei 2021: Kisah Asmara Virgo Sempurna Bahkan hingga ke Jenjang Pernikahan

Hukum Negara Memperbolehkan

Pendapat Deson tentang hukum negara yang tidak memperbolehkan pasangan beda agama menikah, dibantah oleh ahli hukum di Indonesia, Dr. Evi Purwanti, S.H., LL.M.

Menurut lulusan Program Doktor Ilmu Humum Universitas Gajah Mada tahun 2016 ini, pernikahan berbeda agama di mata hukum negara di Indonesia dapat dilakukan.

Dengan dasar hukum dari putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1400 K/Pdt/1986 yang memperbolehkan pernikahan berbeda agama dilakukan di Kantor Pencatatan Sipil.

"Berdasarkan putusan MA 1400/1986, sekarang perkawinan beda agama itu dapat dilakukan di Indonesia," terang Dr. Evi.

Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 tersebut, Dr. Evi katakan, dapat dilakukan secara universal terhadap seluruh warga Indonesia karena putusan ini dianggap sebagai Yurisprudensi.

Terlebih, lanjut Dr. Evi, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), sama sekali tidak menyebutkan secara eksplisit (tegas) larangan ataupun memperbolehkan pernikahan berbeda agama tersebut dilakukan.

Pendapat serupa juga disampaikan Halili. Undang-Undang Perkawinan memang tidak memberikan kejelasan, terutama secara administrasi.

"Karena KUA hanya mengeluarkan buku nikah, hanya jika dua-duanya muslim," katanya.

Sedangkan dalam Undang-Undang HAM, lanjut Halili, pernikahan atau hak untuk memilih keluarga adalah hak privat yang dijamin.

"Jadi, secara administratif lebih sulit, tapi mungkin dengan akta pernikahan melalui catatan sipil, bukan KUA," jelasnya.

Kendati demikian, Dr. Evi memberikan catatan, bahwa walaupun di mata hukum negara, pernikahan berbeda Agama dapat dilakukan, namun hal tersebut dapat berbeda di mata hukum agama, seperti yang diatur dalam agama Islam, maupun agama lainnya yang melarang pernikahan berbeda agama.

Seperti di dalam agama Islam, Perkawinan berbeda agama dapat dinyatakan tidak sah dan pelakunya dapat dikategorikan zina.

Karena menurutnya, dalam sebuah pernikahan secara Islam, haruslah memenuhi syarat dan rukun pernikahan itu sendiri, satu diantaranya yakni, calon suami dan istri haruslah beragama Islam.

"Ini memang menjadi suatu pandangan yang kontradiksi, berdasarkan hukum negara itu sah (menikah beda agama), namun berdasarkan hukum agama (red,-Islam) itu tidak sah karena tidak sesuai rukun dan syarat pernikahan," ujarnya.

Tidak hanya itu saja, dasar hukum putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 tersebut juga tidak dapat dilakukan untuk agama Islam, pasalnya pencatatan pernikahan khusus Agama Islam, sesuai aturan Hukum Negara dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bukan di Dinas Catatan Sipil.

"Putusan Mahkamah Agung ini hanya dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, sehingga untuk yang beragama Islam tidak akan bisa, karena pencatatan pernikahan Muslim dilakukan di KUA," jelasnya.

Sehingga, dari penjelasan Dr. Evi tersebut, pernikahan berbeda agama selain Islam dapat dilakukan di Indonesia, dengan dasar hukum putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 tersebut, meskipun konsekuensinya yakni tidak sah di mata hukum agama.

 Baca Juga: Ramalan Shio Kelinci Jumat 18 Juni: Hari Ini Adalah Waktu yang Baik untuk Pertunangan atau Pernikahan

Harus Ada Kesepakatan

Kesepakatan dalam sebuah hubungan pernikahan sudah sepatutnya diperlukan dan dibahas serta diputuskan terlebih dahulu, sebelum dimulainya hubungan pernikahan tersebut.

Penentuan syarat yang disepakati kedua pihak oleh pasangan AS dan AF serta DL dan WP dalam membangun bahtera rumah tangga ini, ditanggapi baik oleh Ahmad Nurcholish dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Menurut pria yang telah membantu pernikahan ratusan pasangan berbeda agama ini, kesepakatan-kesepakatan haruslah dibicarakan sebelum dilangsungkannya pernikahan.

"Ya bagus-bagus saja itu, kalau memang sudah kesepakatan bersama. Memang harus ada kesepakatan-kesepalatan yang sudah dibicarakan sejak sebelum menikah," terangnya.

Penentuan kesepakatan-kesepakatan ini, Nurcholish katakan, bertujuan untuk menghindari perdebatan, konflik hingga tarik ulur yang tidak perlu sepanjang pernikahan.

Bahkan penentuan kesepakatan ini juga telah dilakukan Nurcholish sendiri. Dia menikah dengan Ang Mei Yong, penganut agama Konghucu. Pernikahan mereka berjalan harmonis hingga kini.

 

Perlu Komunikasi Intens

Pernikahan dengan latar belakang berbeda prinsip, budaya hingga agama merupakan tantangan yang tidak bisa dikatakan mudah.

Hal ini diungkapkan oleh psikolog asal Kota Singkawang, Winda Ruliana, M.Psi, Psikolog.

Dalam pernikahan yang satu agama saja, kata Winda, dibutuhkan komunikasi hingga untuk hal-hal terkecil dengan cara yang tepat untuk dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Hal itu pula berlaku bagi pasangan yang berbeda prinsip dan latar belakang budaya serta agama. Tentunya, dibutuhkan komunikasi yang lebih intens untuk sebuah keselarasan dalam hubungan pernikahan.

"Melalui adanya pemahaman dua belah pihak dan penyesuaian diri secara berkelanjutan, sehingga mewujudkan visi pernikahan," ujar Winda.

Pemahaman dalam hubungan yang dibangun, lanjut Winda, pada akhirnya akan berpengaruh pada hadir atau tidaknya kenyamanan dalam hubungan pernikahan tersebut.

Kesepakatan rinci tentang hal-hal yang bisa jadi pada sebagian orang dianggap remeh temeh, tapi bagi orang lain menjadi hal yang penting diperlukan dalam pernikahan sebagai antisipasi konflik yang tidak perlu. Sehingga  meminimalisir risiko ketidaknyamanan akibat adanya perbedaan.

"Ketika individu dewasa sudah memutuskan untuk menempuh jalur tersebut, tentunya juga diperlukan kesiapan untuk selalu menyelaraskan perbedaan, demi mencapai tujuan bersama dari pernikahan," katanya.

Ia menambahkan, konflik batin karena perbedaan prinsip dan kompromi sebagai jalan tengah yang harus diambil, mungkin tak dapat dielakkan khususnya pada awal pernikahan sebagai masa penyesuaian.

Menurut Winda terkadang kesepakatan sebelum dan sesudah implementasi, tak selalu berjalan mulus sesuai yang dibayangkan.

"Nah dalam implementasi ini nantinya tetap terus diperlukan komunikasi. Ketika ada hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan kedua belah pihak terkait kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya," tukasnya.

 Baca Juga: Pesta Pernikahan di Medan Dibubarkan Polisi, Ini Penyebabnya

Perjanjian Pra-Nikah

Meski bukan sebuah keharusan, kesepakatan dalam sebuah pernikahan bisa menjadi hal yang diperlukan oleh sebagian pasangan tertentu.

Menurut Psikolog asal Kota Pontianak, Umi Kalsum, M.Psi., Psikolog, perjanjian pra-nikah, mungkin masih dianggap tabu atau tidak biasa oleh sebagian masyarakat.

Namun, berkembangnya pengetahuan, perbedaan keyakinan, budaya dan kebiasaan, serta pengalaman negatif seseorang hingga menimbulkan perasaan tidak aman, dapat membuat berberapa pasangan menganggap perjanjian dan kesepakatan dalam pernikahan itu perlu.

Terlebih, pernikahan itu, menurutnya merupakan suatu momen yang indah dan sakral, dimana setiap pasangan pernikahan pasti menginginkan pernikahan mereka berlangsung harmonis, penuh kebahagiaan dan seumur hidup.

"Untuk meminimalisir perdebatan, ketidaksamaan pendapat dan pertikaian karena perbedaan, maka hal ini yang memicu perlunya perjanjian pra-nikah," kata Umi.

Pernikahan juga, lanjut Umi, haruslah dibangun atas rasa kasih sayang, kepercayaan, komitmen dan kesiapan mental kedua pasangan.

Untuk memasuki babak baru kehidupan dengan pernikahan, hal-hal tersebut haruslah dipersiapkan setiap calon suami dan istri.

Sehingga, apabila ada perjanjian pra-nikah, sebaiknya dipandang secara positif, untuk melindungi hak dan kewajiban yang terjadi selama pernikahan berlangsung. (Kurnia Azzahra/*)

Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x