Menanti Langkah Kolektif Menghadapi Krisis Iklim

- 14 Juli 2022, 22:13 WIB
Ilustrasi krisis iklim
Ilustrasi krisis iklim /

Baca Juga: Migrasi iklim Diprediksi Meningkat di India di Tengah Cuaca Ekstrem

Ironisnya, sebagai sektor yang paling banyak terkena dampak pemanasan global, pertanian juga menjadi penyumbang GRK dunia. 20% dari keseluruhan total GRK antropogenik berasal dari sektor ini. Dari jumlah itu, 90% berasal dari pertanian daerah tropik. Besarnya GRK dari sektor pertanian disebabkan praktik budidaya pertanian yang tidak berkelanjutan, seperti pembakaran lahan dan pembajakan tanah. Pembakaran lahan bukan hanya menghasilkan GRK, tetapi juga merusak tanah. Sementara pembajakan lahan memicu oksidasi bahan organik tanah yang berakibat pada peningkatan emisi gas CO2 dan menurunnya cadangan karbon tanah. Dampak lain pembajakan lahan adalah merusak agregasi tanah sehingga partikel-partikel tanah menjadi lepas dan karbon tanah hilang terbawa erosi.

Di Indonesia, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lebih dari 60% emisi karbon dihasilkan dari deforestasi dan lahan gambut. Angka itu wajar mengingat tingginya tingkat deforestasi di negeri ini. Data Global Forest Watch, sebagaimana dilansir Katadata, menyebutkan Indonesia kehilangan 9,75 juta Ha lahan hutan primer sepanjang periode 2002-2020 (Kusnandar, 2021). Bahkan di tahun 2020, ketika Covid-19 merebak, 270 ribu Ha lahan hutan primer ikut menjadi korban.

Revolusi industri memang memberikan dampak positif dari segi efektivitas dan efisiensi tata hidup manusia, namun ketidakbijaksanaan dalam penggunaan teknologi membuat alam rusak. Karena kadung antroposentris, keberadaan teknologi justru digunakan untuk semata-mata eksploitasi alam, tanpa memikirkan dampak di masa mendatang. Faktanya, eksploitasi alam menyebabkan deforestasi, industrialisasi, polusi tak terkendali, kerusakan ekologis, hingga ancaman kepunahan manusia. 

Teknologi modern, kata Martin Heidegger (1889-1976), jauh lebih berbahaya bagi alam karena sifatnya yang cenderung menantang, eksploitatif, dan hanya menganggap alam sebagai suatu persediaan belaka (Arianto, 2013). Melalui pandangannya ini, Heidegger ingin mengajak manusia untuk merenungkan kembali cara membangun relasinya dengan alam. Teknologi bukanlah indikator kemajuan peradaban, karena teknologi hanyalah alat yang diciptakan untuk memudahkan manusia. 

Senada dengan itu, mengutip Max Weber, Gunawan Muhammad mengatakan sejak modernitas berkembang, manusia hanya menggunakan “akal instrumental”, memperlakukan alam sebagai sebagai sesuatu yang diperalat, dengan hasil yang bisa diarahkan (HT, 2010). “Alam harus tunduk pada kehendak manusia,” kata Francis Bacon. Dengan teknologi dan penciptaan ilmiah, manusia merasa semakin digdaya untuk menundukkan alam ini. Tanpa disadari, hidup menjadi terlalu mekanis.

Memang Bacon menginginkan ilmu pengetahuan harus dimanfaatkan untuk kepentingan dan kelancaran hidup manusia melalui penemuan sains, tapi ia tidak melihat perlindungan alam sebagai poros kebijaksanaannya. Sains yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manusia modern terhadap sumberdaya alam menyebabkan manusia hidup dan berkembang dengan orientasi menundukkan alam. Sayangnya pemanfaatan itu tidak dilakukan sembari menjaga alam yang mereka manfaatkan tersebut.

Terlepas pro dan kontra atas perubahan iklim, dampak negatifnya sudah kadung terasa. Cuaca tidak menentu yang berpengaruh terhadap anjloknya pendapatan nelayan Indonesia hingga 90% (Riski, 2017), serta mencairnya 28 triliun ton es abadi sejak tahun 1994 hingga 2017 tak bisa lagi disangkal (CNN, 2021). Masa depan manusia terancam punahnya sumber penghidupan dan kehilangan tempat tinggal jika ini dibiarkan terus berlarut.

Merespon Ancaman Krisis Iklim

Perundingan akan kesadaran ekologis menguat ketika dunia mengetahui bahwa perubahan iklim telah berada dalam tahap yang membahayakan kehidupan. Permasalahan yang semula bersifat low politics, kini bergeser menjadi high politics. Isu utama yang diangkat adalah menyusun upaya global agar konsentrasi GRK dapat dikurangi dan distabilkan sehingga iklim Bumi tidak terus memburuk. Diawali tahun 1992, PBB menyelenggarakan konvensi tentang lingkungan dan pembangunan, UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Rio de Janeiro, Brazil.

Halaman:

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x