Dua Orang Tewas Ditembak Polisi Myanmar Saat Unjuk Rasa Antikudeta

- 13 Maret 2021, 18:54 WIB
Potret Deng Jia Xi saat mengikuti aksi demonstrasi melawan kudeta militer Myanmar.
Potret Deng Jia Xi saat mengikuti aksi demonstrasi melawan kudeta militer Myanmar. /Facebook/Deng Jia Xi

WARTA PONTIANAK  - Setidaknya dua orang tewas ditembak polisi di Myanmar semalam, ketika para aktivis menyerukan lebih banyak protes antikudeta pada peringatan kematian seorang siswa yang pembunuhannya pada 1988 memicu pemberontakan melawan pemerintah.

Seruan pada Sabtu 13 Maret 2021, untuk protes, datang ketika para pemimpin Amerika Serikat, India, Australia dan Jepang berjanji untuk bekerja sama memulihkan demokrasi di Myanmar di mana kekerasan telah meningkat ketika pihak berwenang menindak protes dan pembangkangan sipil.

Media domestik melaporkan dua pengunjuk rasa tewas dalam penembakan polisi di distrik Tharketa, ibu kota komersial Myanmar, Yangon, semalam.

Baca Juga: 38 Orang Tewas saat Aksi Demonstrasi Menentang Kudeta Militer di Myanmar

DVB News mengatakan polisi menembaki kerumunan yang berkumpul di luar kantor polisi Tharketa menuntut pembebasan orang yang ditangkap.

Poster-poster tersebar di media sosial yang menyerukan kepada orang-orang untuk turun ke jalan untuk memprotes junta dan untuk menandai peringatan kematian Phone Maw, yang ditembak dan dibunuh oleh pasukan keamanan pada 1988 di  tempat yang kemudian dikenal sebagai kampus Institut Teknologi Rangoon. 

Penembakan terhadapnya dan siswa lain yang meninggal beberapa minggu kemudian memicu protes luas terhadap pemerintah militer yang dikenal sebagai kampanye 8-8-88, karena mencapai puncaknya pada Agustus tahun itu.

Baca Juga: ASEAN Serukan Solusi Damai Untuk Krisis Kudeta Militer di Myanmar
 
Diperkirakan 3.000 orang tewas ketika tentara menumpas pemberontakan.

Aung San Suu Kyi muncul sebagai ikon demokrasi selama gerakan dan ditahan di rumah selama hampir dua dekade. Dia dibebaskan pada 2008 ketika militer memulai reformasi demokrasi dan Liga Nasional untuk Demokrasi miliknya memenangkan pemilu pada 2015 dan sekali lagi pada November tahun lalu.

Pada 1 Februari tahun ini, para jenderal menggulingkan pemerintahannya dan menahan Suu Kyi dan banyak rekan kabinetnya, seraya mengklaim penipuan dalam pemilihan November.

Lebih dari 70 orang telah tewas di negara Asia Tenggara itu dalam protes yang meluas sejak itu, kata kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).

Kudeta di Myanmar, di mana militer memiliki hubungan dekat dengan China, adalah ujian awal utama bagi Presiden baru AS Joe Biden.

Baca Juga: Pengunjuk Rasa Tak Henti Berdemonstrasi Akibat Kudeta Militer Myanmar

Pemerintahannya menandai pertemuan virtual dengan para pemimpin India, Jepang dan Australia pada Jumat, pertemuan puncak resmi pertama dari kelompok yang dikenal sebagai Kwartet, sebagai bagian dari dorongan untuk menunjukkan komitmen AS yang diperbarui terhadap keamanan regional.

"Sebagai pendukung lama Myanmar dan rakyatnya, kami menekankan kebutuhan mendesak untuk memulihkan demokrasi dan prioritas penguatan ketahanan demokrasi," kata keempat pemimpin itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh Gedung Putih.

Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon dari Reuters untuk meminta komentar.

Baca Juga: Dewan Keamanan PBB Akan Jatuhkan Sanksi Atas Kudeta Militer Myanmar

Penyelidik hak asasi manusia PBB Thomas Andrews pada Jumat menolak komentar "tidak masuk akal" oleh seorang pejabat senior Myanmar bahwa pihak berwenang melakukan "pengekangan sepenuhnya".

Berbicara di depan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, dia menyerukan pendekatan terpadu untuk "menghapus rasa impunitas junta".

Bekas kekuatan kolonial Inggris itu memperingatkan warganya di Myanmar untuk pergi pada Jumat, dengan mengatakan "ketegangan politik dan kerusuhan meluas sejak pengambilalihan militer dan tingkat kekerasan meningkat".

Korea Selatan mengatakan akan menangguhkan pertukaran pertahanan dan mempertimbangkan kembali bantuan pembangunan ke Myanmar karena kekerasan tersebut.

Baca Juga: Telenor Pulihkan Jaringan Internet di Myanmar Seusai Kudeta Militer

Kremlin mengatakan Rusia, yang memiliki hubungan dekat dengan militer Myanmar, prihatin atas kekerasan yang meningkat dan "menganalisis" apakah akan menangguhkan kerja sama teknis-militer.

"Kami menilai situasi ini mengkhawatirkan, dan kami prihatin dengan informasi tentang meningkatnya jumlah korban sipil yang datang dari sana," kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov seperti dikutip oleh kantor berita TASS, dilansir dari Antara, Sabtu 13 Maret 2021.

Awal pekan ini, Dewan Keamanan PBB membatalkan pernyataan yang mengutuk pengambilalihan militer sebagai kudeta karena ditentang oleh China, Rusia, India, dan Vietnam.

Kementerian luar negeri Polandia mengatakan seorang jurnalis Polandia ditangkap minggu ini di Myanmar, reporter asing kedua yang ditahan. Seorang jurnalis Jepang ditahan sebentar saat meliput protes.

Baca Juga: Kudeta Militer di Myanmar, Ribuan Orang Turun ke Jalan di Yangon

Polisi anti huru hara dan tentara bersenjata memasuki rumah sakit umum di Hakha, di negara bagian Chin barat, memaksa semua 30 pasien untuk pergi dan mengusir staf dari rumah sakit itu, kata aktivis lokal Salai Lian.

Tentara telah menduduki rumah sakit dan universitas di seluruh Myanmar ketika mereka mencoba untuk menghentikan gerakan pembangkangan sipil yang dimulai dengan pegawai pemerintah seperti dokter dan guru tetapi telah berkembang menjadi pemogokan umum yang telah melumpuhkan banyak sektor ekonomi.***

Editor: M. Reinardo Sinaga

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x