Demikian pula halnya perubahan sosial; alih-alih konsisten dengan satu metodologi, malah berdampak pada stagnasi gerakan dan tidak terealisasinya cita-cita perubahan sosial yang diharapkan.
Ilmu sosial modern – yang berbasiskan empirisme, telah memisahkan etika dari kajian mereka. Dampaknya adalah krisis etika (aksiologis) yang berimplikasi pada
krisis ekologis akibat pemanfaatan sumberdaya ilmu dalam eksploitasi alam yang minor nilai. Demi mendapatkan keuntungan besar dari sektor sumberdaya alam, misalnya, rezim kapitalis dengan jejaring korporasinya tak segan membabat rata hutan dalam konsesi mereka.
Tindakan itu dilakukan dengan sadar tanpa memikirkan relasi manusia dengan sumber-sumber penghidupan yang berasal dari hutan, juga relasi antara manusia dengan flora dan fauna yang hidup didalam ekosistem itu.
Fritjof Capra, seorang saintis-positivis, harus menoleh ke belahan dunia lain untuk mengkaji hikmah Timur. Capra menyaksikan rongrongan skeptisisme dan relativisme materialis di era kiwari justru mengkaramkan peradaban manusia modern. Senada dengan Capra, Arnold Toynbee menjadikan mental-spiritualitas atau agama sebagai lapisan inti peradaban umat manusia dalam karyanya A Study of History. Bahkan sains dan teknologi ditempatkan oleh Toynbee sebagai lapisan terluar peradaban.
Fenomena integralisme mensyaratkan adanya perumusan kembali gagasan perubahan sosial yang kontekstual dengan hambatan dan tantangan kontemporer. Ketika dunia-baru mengalami transformasi besar dengan integrasi ilmu, maka rekonstruksi gerakan sosial berbasis metode yang integralistik menjadi kebutuhan yang tak terelakkan untuk memecahkan stagnasi.
Naluri manusia, secara pasti, menuju pada satu titik pertemuan untuk memastikan keberlanjutan alam agar bisa dinikmati oleh generasi mendatang. Konvergensi teori-teori perubahan sosial lantas jadi fenomena ikutan. Idiom-idiom kolaborasi, sinergi dan integrasi yang kini lazim didengar merupakan indikasi gerakan baru itu.
Gerakan Sosial Baru