[OPINI] Gerakan Sosial ‘Baru’: Restorasi Gambut

- 3 Januari 2021, 17:33 WIB
Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah (kaos putih les merah) saat berbincang dengan petani di Demplot Lahan Tanpa Bakar Desa Trimandayan, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, Kalbar
Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah (kaos putih les merah) saat berbincang dengan petani di Demplot Lahan Tanpa Bakar Desa Trimandayan, Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas, Kalbar /instagram @hermawansyah_wawan/BRG

Integralisme memotori lahirnya sebuah gerakan yang lintas geografis, struktur yang lebih terbuka, desentralisasi, serta bebas sekat sektoral. Gerakan itu dinamai sebagai gerakan sosial baru atau new social movement. Kompleksitas paradigma, teori, metodologi, serta permasalahan yang dihadapi sudah melintasi dimensi yang dipahami sebelumnya.

Permasalahan ekosistem gambut, sebagai contoh, tak mungkin dilepaskan dari regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah, investasi berbasis hutan dan lahan, heterogentias manusia yang hidup diatasnya, pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut, faktor sejarah yang menghiasi setiap lapisannya, juga perkembangan teknologi yang kini begitu massif.

Gerakan  sosial,  menurut  Anthony  Giddens,  merupakan  upaya  kolektif  demi menggapai terwujudnya kepentingan bersama, mencapai tujuan bersama dengan cara tindakan kolektif (collective action) dan memposisikan diri sebagai gerakan yang   berada   di   luar   pemerintahan.   Oleh   Rajendra   Singh,   gerakan   sosial dikategorikan menjadi gerakan sosial klasik, neo-klasik, dan kontemporer atau baru (Singh, 2010).

Dinamisator BRG Kalbar saat memanen cabe di Desa Trimandayan
Dinamisator BRG Kalbar saat memanen cabe di Desa Trimandayan BRG

Kajian mengenai gerakan sosial baru muncul ke permukaan setelah gerakan skala besar  atas  isu-isu  mendasar  yang  meliputi  aspek  humanis,  kultural,  dan  non- materialistik. Sehingga, gerakan sosial baru bersifat lebih universal, dengan model yang  tidak  terjebak  pada  diskursus  ideologi.

Dalam  Gerakan  Sosial:  Teori  dan Praktik,  Abdul Wahib  Situmorang  memaparkan  bahwa  gerakan  ini memiliki  ciri utama sebagai berikut: pertama, menempatkan aksi gerakan sosial menjadi suatu aksi  kolektif  yang  memiliki  nilai  positif  dan  rasional;  kedua,  mengoreksi  serta mengkontekstualisasikan teori-teori gerakan sosial pada era sebelumnya; ketiga, kajian  gerakan  sosial  kian  beraneka  ragam  karena  semakin  banyaknya  praktik gerakan dan studi gerakan sosial di luar wilayah Amerika dan Eropa;  keempat, gerakan   sosial   baru   mampu   mengidentifikasi   faktor   yang   memfasilitasi berkembangnya   gerakan,   kekuatan   atau  kelemahan   dan   keberhasilan   atau ketidakberhasilan dari suatu gerakan sosial (Situmorang, 2007).

Sederhananya, gerakan sosial baru menjelma menjadi upaya kolektif untuk memperjuangkan isu-isu universal. Misalnya Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, kemiskinan, masyarakat adat, lingkungan hidup dan perubahan iklim, serta antikorupsi dan atau inisiatif global open government partnership (OGP). Gerakan sosial baru telah melampaui kutub-kutub paradigma yang ada, tidak hanya teori bahkan lintas mazhab agama.

Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah saat membuka Sekolah Lapang Petani Gambut di Arang Limbung, Kubu Raya, Kalbar
Dinamisator BRG Kalbar Hermawansyah saat membuka Sekolah Lapang Petani Gambut di Arang Limbung, Kubu Raya, Kalbar BRG
 

Dalam Islam misalnya, perhatian terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pendidikan sudah sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan Khalifah penerusnya. Bahkan Syaidina Ali RA lewat ungkapan terkenalnya pernah mengatakan bahwa; ‘jika kemiskinan dan kebodohan itu berwujud seorang manusia, maka akulah orang pertama yang akan membunuhnya’.

 

Halaman:

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah