Omnibuslaw Cipta Kerja, AMAN: Masyarakat Adat Makin Tersisih

- 21 November 2020, 17:53 WIB
Webinar SIEJ Simpul Kalbar "Masa Depan Masyarakat Adat Dalam Pusaran Omnibuslaw"
Webinar SIEJ Simpul Kalbar "Masa Depan Masyarakat Adat Dalam Pusaran Omnibuslaw" /M. Reinardo Sinaga/Warta Pontianak

WARTA PONTIANAK - Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus law sejak awal sudah menimbulkan banyak persoalan. UU yang disahkan pada 5 Oktober 2020 oleh DPR RI itu dinilai telah menghilangkan hak-hak masyarakat adat.

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Kalimantan Barat mengupasnya dalam sebuah workshop daring bertema “Masa Depan Masyarakat Hukum Adat dalam Pusaran Omnibus Law Cipta Kerja”, Sabtu, 21 November 2020.

Dalam rilis yang diterima Warta Pontianak, workshop itu menghadirkan tiga pemateri, Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, jurnalis senior Mardiyah Chamim dan akademisi Fakultas Hukum Universita Tanjungpura, Pontianak, Dr Hemansyah.

Baca Juga: Primata Endemik Kalbar Terancam Gegara Omnibuslaw

Menurut Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, Undang Undang Omnibus law dianggap bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang telah diatur di dalam UUD 1945.

Erasmus menunjukkan bukti, satu di antaranya adalah turut dihapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kearifan lokal masyarakat adat dari ancaman pidana.

“Sejak awal, masyarakat adat sudah didiskreditkan. Mereka dianggap sebagai perusak dan pembakar hutan. Hanya karena pola perpeladangan yang mereka lakukan menjadi bagian dari tradisi,” kata Eras.

“Penguasaan atas lahan juga dianggap tidak efisien,” sambungnya.  

Baca Juga: Lanjutkan Perlawanan Tolak Omnibuslaw, Mahasiswa Kehutanan Untan Turun ke Jalan

Bukan cuma berladang, ketiadaan perlindungan terhadap wilayah adat justru berdampak pada semakin masifnya perampasan wilayah adat untuk kepentingan investasi. Baik industri kehutanan, perkebunan, pertambangan dan lainnya.

Berdasarkan pemetaan wilayah adat, masyarakat adat mendiami 11 juta hektare kawasan hutan di Indonesia. Sekitar 7, 11 juta hektare berada di dalam kawasan hutan  dan 2,6 juta hektare di luar kawasan hutan.

Dari 7,11 juta Ha yang berada di dalam kawasan hutan  itu, kata Eras, 24 persennya telah dibebani izin, seperti HPH, HGU, tambang dan HTI.

Sedangkan 2,6 juta hektar yang berada di luar kawasan, hanya 20 persen yang dibebani izin.

Secara umum, Omnibus law Cipta Kerja berisiko tinggi bagi upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Menurutnya, Omnibus Law Cipta Kerja mempermudah investasi. Namun di sisi lain mengatur prosedur pengakuan Masyarakat Adat dalam RUU Masyarakat Adat yang bahkan lebih sulit dijangkau dari peraturan sectoral yang ada selama ini.

“Artinya, kriminalisasi, kekerasan, perampasan wilayah adat terhadap Masyarakat Adat akan terus terjadi,” katanya.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Dr Hermansyah punya tanggapan serupa. Ia mengatakan bukan hanya masyarakat adat saja yang merasakan dampak Omnibus Law.

Dari kaca mata hukum, Hermansyah menyebut, masyarakat adat juga memproduksi hukum/peraturan.

Hanya saja sifatnya tidak tertulis. Peraturan atau hukum (hukum adat), itu kata Hermansyah, untuk menjaga eksistensi keberadaan masyarakat adat itu sendiri. Namun, bagaimanapun, kata Hermansyah, hukum adat tidak diakui oleh negara.

Baca Juga: Tolak UU Cipta Kerja, Buruh dan Mahasiswa Kembali 'Kepung' Gedung DPR RI Siang Ini

Menurutnya, hukum negara bersifat positivistik, politis, elitis, represiv dan  responsive, sertai ideologis. 

Ia menambahkan, hukum negara juga memiliki watak, di antaranya, linguistik, yaitu persoalan bahasa yang tertulis dalam dunia hukum, eksploitatif dan kapitalisasi. Artinya setiap dimensi kehidupan dihargai dengan uang.

Watak lain, lanjut Hermasyah, adalah hegemonic (merasa paling benar), dan alienasi (kesadaran).

“Intinya, hukum adat tercipta dari ideologis. Sedangkan hukum negara, proses pembentukannya syarat dengan kepentingan. Lihat saja produk-produk hukumnya,” jelasnya.

Baca Juga: Bahas UU Cipta Kerja, Perwakilan Mahasiswa Datangi Istana Kepresidenan

Menurut Hermansyah, dampak Omnibuslaw pada masyarakat adat yakni tersisihnya hukum dan kearifan lokal, Periferalisasi Sistem Subsistens, Matinya subjektivitas, hilangnya kebebasan dan tercabutnya makna religiositas dalam kehidupan. 

Di bagian lain, jurnalis senior, Mardiyah Chamim mengatakan, masyarakat adat bukan lah masyarakat primitive yang terpinggirkan. Keberadaannya memiliki peran besar dalam menjaga hutan dan ekosistemnya.

“Tanpa mereka, kita bisa apa?. Kita berutang pada masyarakat adat,” kata penulis buku “Penjaga Rimba Terakhir” itu. ***

Editor: M. Reinardo Sinaga


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x