Perubahan Perilaku Konsumen di Masa Pandemi Sebabkan Harga Sawit Melonjak

30 Maret 2021, 21:07 WIB
Tandan buah segar - TBS kelapa sawit /Brilian Cholif /Warta Pontianak

WARTA PONTIANAK – Di masa Pandemi covid-19 seperti ini, banyak dari perusahaan di beberapa negara melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Termasuk perusahan di Indonesia, ada beberapa perusahaan yang mengalami kebangkrutan karena hadirnya wabah covid-19.

 

Namun berbeda dengan perusahan perkebunan kelapa sawit, di masa pandemi seperti saat ini, harga CPO melonjak setiap minggunya.

 

Dilansir dari Infosawit, pergerakan harga minyak sawit mentah (CPO) yang terus meninggi semenjak Juni 2020 didorong oleh gangguan pasokan minyak nabati utama serta daerah penghasil minyak sawit.

 

Baca Juga: Harga TBS Sawit Riau Periode 25-30 Maret 2021 Naik Menjadi Rp2.388,03 Per Kilogram

 

Dengan permintaan yang melampaui pasokan pada Kuartal III 2020, harga patokan minyak sawit di Bursa Malaysia Derivatives Exchange tercatat mampu melampaui RM 3.000 hingga diperdagangkan pada RM 3.064 per ton sekitar Rp10.4 juta tepatnya pada pertengahan Oktober 2020, atau 38 persen lebih tinggi dibanding tahun lalu pada periode yang sama.

 

Pada pertengahan November 2020, harga minyak sawit mentah (CPO) mampu mencapai level tertinggi, sekitar RM 3.490 per ton atau sekitar Rp 12.1 juta.

 

Selain pasokan, kenaikan harga minyak sawit di dunia tercatat dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya.

 

Dalam laporan yang diterbitkan Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) mencatat, faktor iklim, kasus pandemi covid-19 sangat berdampak pada pembatasan aktivitas, serta masalah pekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, menjadi sederet faktor yang menjadi pertimbangan.

 

Termasuk, minyak sawit diuntungkan dengan adanya pasokan minyak nabati lainnya yang lebih rendah dari perkiraan, terutama dari minyak bunga matahari dan rapeseed yang pabriknya banyak di Eropa.

 

Baca Juga: Dua Pengendara Motor Tabrak Truk Sawit yang Mogok di Senggiring Mempawah

 

Hal tersebut yang pada akhirnya memicu kenaikan tajam harga minyak nabati, yang lantas berdampak pula pada melonjaknya harga CPO.

 

Ketika pandemi covid-19 mulai muncul di awal tahun 2020 hal tersebut mendorong dilakukannya kebijakan pembatasan (lockdown) di sejumlah negara konsumen minyak sawit di dunia, namun tekanan itu hanya berlaku sesaat, lantaran pada kuartal II tahun 2020, negara-negara pengimpor utama minyak sawit mulai melakukan re-stock.

 

Selain itu, berkurangnya ketersediaan minyak goreng bekas dan lemak hewani akibat pandemi telah menyebabkan beberapa produsen biodiesel mengalihkan bahan bakunya ke minyak nabati, hal tersebut memicu meningkatnya permintaan minyak sawit global.

 

Kasus pandemi covid-19, “Tidak berdampak parah terhadap permintaan minyak nabati, termasuk minyak sawit,” catat CPOPC.

 

Pada masa sekarang minyak nabati merupakan kebutuhan sehari-hari, baik itu bahan pokok dapur, bahan pembersih atau bahan bakar terbarukan, dalam kehidupan banyak orang di seluruh dunia.

Baca Juga: Truk Bermuatan 7 Ton Kelapa Sawit dari Singkawang Terguling di Jalan Raya Sungai Pinyuh

 

Faktanya, meningkatnya permintaan produk oleokimia telah menopang permintaan minyak nabati, termasuk minyak sawit.

 

Turunan oleokimia seperti gliserin, asam lemak dan metil ester, merupakan bahan baku untuk sanitiser, deterjen dan sabun yang mengalami peningkatan permintaan karena kesadaran kebersihan yang lebih baik dan protokol kesehatan yang serukan oleh pemerintah.

 

Sejak dimulainya pandemi covid-19, telah terjadi pergeseran perilaku konsumen yang sebelumnya makan di restoran, kafe, dan lainnya, kini banyak rumah tangga memasak dan makan di rumah.

 

“Manfaat dari perubahan perilaku ini, konsumen akan mengganti minyak nabati mereka secara lebih teratur, karena perusahaan menjual kemasan yang lebih kecil kepada konsumen sehubungan dengan permintaan yang lebih rendah dari restoran,” laporan CPOPC.***

 

Editor: M. Reinardo Sinaga

Sumber: infosawit

Tags

Terkini

Terpopuler