Hoaks dan SARA Membuat Pemilu Tidak Berkualitas

- 10 Agustus 2021, 15:12 WIB
Peserta lokakarya yang diselenggarakan oleh Instan
Peserta lokakarya yang diselenggarakan oleh Instan /tangkapan layar/

WARTA PONTIANAK – Isu seputar suku, agama, ras dan antara golongan (SARA) dalam setiap perhelatan Pemilu kerap muncul. Ditambah persoalan berita bohong (hoaks) yang akan membuat demokrasi tidak sehat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalbar menggulirkan pilot project pendidikan politik.

“Soal penggunaan isu SARA sudah ada aturan dan larangannya  dalam pasal 187 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Maka diperlukan penegakkan hukumnya yang harus mumpuni,” kata Ketua KPU Provinsi Kalbar, Ramdan, Sabtu 7 Agustus 2021, dalam Lokakarya Virtual yang diselenggaran Institute Kajian Kebangsaan (Instan).

Dalam lokakarya bertema ‘Antisipasi Degradasi Semangat Kebangsaan di Pemilu 2024 dan Hambatan Pandemi Covid-19 ini, Ramdan mengharapkan semua pihak memiliki tanggungjawab dalam pendidikan politik sehingga pemilu dapat berhasil. Dalam hal teknis penyelenggaran memang ranah KPU. Tetapi juga ada keterlibatan semua pihak termasuk pemerintah, Bawaslu, peserta pemilu dan masyarakat dalam proses pendidikan politik.

“Terkait hal ini, kami sudah memiliki pilot project program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3) di Desa arasau Jaya 3 Mempawah dan Desa Wajuk Hulu Kubu Raya,” ujar Ramdan.

Pernyataan Ramdan ini menjawab peserta Lokakarya yang mempertanyakan tentang solusi apa yang harus dilakukan setelah melihat kondisi munculnya ketegangan sosial. Siapa yang bertanggungjawab dalam pendidikan politik.

pemiluBaca Juga: Cegah Degradasi Kebangsaan di Pemilu 2024, Instan Gelar Lokakarya Virtual

“Masyarakat kita terkotak-kotak, dan rasa kebangsaan tercabik-cabik dalam setiap momentum pemilu mulai Pilkada, Pilegislatif hingga Pilpres yang puncaknya di 2019. Bagaimana peran KPU dan siapa yang memiliki peran untuk hal ini,” kata Romiadi Haryono, salahseorang peserta Lokakarya.

Lontaran pertanyaan serupa juga dikemukakan Wakil Walikota Singkawang, H. Irwan, peserta lainnya dalam lokakarya tersebut.

“Di negara maju sekalipun, yang dikapitalisasi adalah isu-sisu SARA. Pengalaman kami di Singkawang yang secara sosio kultural sangat beragam, termasuk di Kalbar secara umum. Kita tidak ingin identitas ini terpelihara dan mengental sebagai bahan progaganda dan agitasi elit politik,” kata Irwan.

Ia sangat sepakat dan mendukung adanya program KPU berupa pembentukan DP3 sehingga dapat melakukan antisipasi dini.

Baca Juga: KPU Wacanakan Surat Suara pada Pemilu 2024 Tak Lagi Dicoblos Tapi Ditandai

“Kita bisa bayangkan cost sosial. Berkenaan pilpres saja dalam dua periode yang sudah dilalui telah mencabik rasa kebangsaan. Nah nanti serentak se-Indonesia akan ada 530 lebih Pilkada dan enam bulan sebelum pilkada sudah mulai muncul pontensi konflik. Kekerabatanpun pecah,” kata Irwan.

Menurut Irwan, ada hal positif. Bagi mereka yang tadinya pasif, akan menjadi produktif. Tetapi sisi negatifnya juga harus dipertimbangkan. Diminta kepada KPU untuk melakukan sinergi dengan berbagai pihak antara pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan elit untuk antisipasi propaganda tersebut. Makanya harus ada aturan yang tegas untuk menindak mereka yang menggunakan politik identitas sebagai alat politik.

“Memang hak pemilih untuk menggunakan sudut pandang SARA ketika memilih, tetapi jika isu SARA dikapitalisasi maka akan membuat demokrasi tidak sehat, dan membuat kita terpecah. Belum lagi di era teknolog informasi sekarang yang dengan cepat dan mudah tersebar hoaks,” ujar Irwan.

Pada sesi pemaparan narasumber kedua dari Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Faisal Reza menjelaskan korelasi antara kehadiran sebuah bangsa dan pembentukan nasionalisme melalui media. Ia juga menyoroti tentang perlunya antisipasi degradasi (penurunan) nilai-nilai kebangsaan dalam momentum kepemiluan.

Baca Juga: 40 Orang Lolos Seleksi Pendaftaran Sekolah Kader Pengawas Pemilu di Kapuas Hulu

“Faktor yang cukup memengaruhi adalah media. Sejarah menunjukkan, untuk menunjukkan identitas sebuah bangsa melalui media, mulai dari simbol-simbol, gimik dan lainnya,” kata Faisal.

Hanya saja, lanjut Faisal, media saat ini memiliki problem, terlebih di era 4.0 penetrasinya menurun dan media sosial terus meningkat. Kalau media mainstream masih bisa dikendalikan karena ada institusi yang bisa diajak dialog. Tetapi berbeda dengan media sosial yang dikendalikan orang perorang.

“Nah, bagaimana kita mengantisipasi degradasi semangat kebangsaan ini melalui media. Saya kira hal ini sangat korelatif,” ujar Faisal.

Dari sisi kelembagaan, Faisal menyampaikan kehadiran Bawaslu dalam Pemilu sebagai sebuah wujud kedaulatan rakyat untuk menentukan pemimpinnya yang demokratis. Karena itu sistem dan proses penyelenggaraannya harus demokratis. Jika tidak, akan mengurangi derajat kepercayaan publik terhadap legistimasi hasil pemilu.

Baca Juga: Dubes AS Dikecam Presiden Albania karena Dianggap Intervensi Pemilu

“Bawaslu hadir untuk mencegah dan mengawasi kekuatan-kekuatan politik non demokratis. Secara yuridis sudah ada undang-undang yang mengaturnya dan harus kita sepakati. Namun dalam sistem demokratis itu tetap saja ada kekuatan non demokratis dan pelakunya bisa siapa saja,” ujar Faisal seraya menyampaikan indeks kerawanan pemilu (IKP) dalam dimensi partisipasi, kontestasi, dan penyelenggaraan. ***

Editor: Yuniardi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x