Ternyata Impor Kedelai di Indonesia Sudah Dilakukan Sejak Lama

- 12 Januari 2021, 16:17 WIB
Produk kedelai kalengan buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 1980-an.
Produk kedelai kalengan buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 1980-an. /Hendaru Tri Hanggoro/Historia.id/

WARTA PONTIANAK - Tahukah kamu, 70 persen kebutuhan kedelai di Indonesia berasal dari impor? Yap! Impor kedelai ternyata telah ada sejak masa Hindia Belanda. 

Dilansir dari Historia, Menurut William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam History of Tempeh and Tempeh Products (1815–2011), Hindia Belanda menjadi salah satu pengimpor besar kedelai di dunia pada 1920-an. 

Pulau Jawa membutuhkan jumlah kedelai yang cukup banyak. Jumlah impornya mencapai 200 ribu ton untuk kebutuhan 35 juta penduduk. Dari 200 ribu ton kedelai impor, 95 ribu ton lebih berasal dari Manchuria. Kedelai impor itu digunakan untuk membuat tempe, tahu, dan kecap.

Baca Juga: Jadi Mensos, Pengamat: Risma Punya Panggung Politik Nasional

Di masa itu, pasokan kedelai lokal terbanyak di Hindia Belanda berada di Jawa Tengah dan Timur. Di sini para pembuat tempe dan tahu memilih kedelai lokal. Tapi di Jawa Barat justru kebalikannya. Sebab lahan kedelai di Jawa Barat lebih sedikit daripada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedikit lahan mengakibatkan sedikitnya produksi kedelai. Buntutnya pasokan tak stabil dan kurang. Karena itulah, kedelai impor sangat laku di Jawa Barat.

Memasuki masa kemerdekaan, impor kedelai menurun. Saat bersamaan, kebutuhan terhadap kedelai juga stagnan. Masa-masa setelahnya sampai era Demokrasi Terpimpin Sukarno, data produksi tempe sangat minim.

Baca Juga: Jaga Data dan Jangan Sembarangan Klik Link, Ini 8 Tips Agar Rekening Tak Dibobol

Indonesia mengimpor kembali kedelai pada 1972. Jumlahnya 183 ton, relatif kecil dibandingkan dengan produksi dalam negeri yang mencapai 518.229 ton. Sementara kebutuhan kedelai saat itu berada pada angka 515.357 ton untuk 131 juta penduduk. Angka tersebut menunjukkan Indonesia surplus kedelai sehingga mampu mengekspor kedelai sebesar 3.055 ton.

Memasuki 1976 nilai konsumsi kedelai Indonesia naik sedikit menjadi 692.969 ton. Begitu pula dengan produksi. Ada kenaikan menjadi 521.777. Tetapi kenaikan ini tak sebanding dengan kebutuhan. Defisit konsumsi tersebut tak tertutup oleh pembukaan keran impor kedelai secara besar-besaran. Tercatat saat itu nilai impor kedelai naik drastis hingga 171.746 ton. Karena itulah, pemerintah meminta Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk mengurangi defisit kebutuhan kedelai nasional.

Baca Juga: Kabar Duka, Salah Satu Produser Film di Netflix Tewas, Diduga Diracun Lewat Sedotan

BULOG memegang monopoli impor kedelai dan harus menjaga harga kedelai lokal agar tetap bisa bersaing dengan kedelai impor. Dalam urusan penentuan harga kedelai pun, BULOG tak berdaya menghadapi tekanan hukum permintaan dan penawaran.

“Harga komoditas kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Harga kedelai sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar, yang tergantung pada permintaan dan penawaran (demand and supply),” catat Tahlim Sudaryanto dan Dewa K.S. Swastika dalam “Ekonomi Kedelai di Indonesia” yang dimuat dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan.

Baca Juga: Bidik Potensi Pasar Musik di Mozambik, KBRI Maputo Gandeng Produsen Gitar Indonesia

Kondisi tersebut membuat harga kedelai impor selalu lebih rendah daripada kedelai lokal. Petani menjadi tak begitu tertarik untuk memproduksi lebih banyak kedelai. Sebab, tak banyak untung dari memanen kedelai. Mereka lebih memilih menanam jagung karena harganya lebih kompetitif dan menguntungkan.

Sementara itu, angka perbandingan pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai sepanjang dekade 1970–1990 juga jomplang. Angka konsumsi selalu lebih tinggi daripada angka produksi.

Tahlim Sudaryanto mengungkapkan tingkat produksi kedelai Indonesia sebenarnya pernah mengalami penurunan beberapa kali sejak 1992 hingga puncaknya pada 1998. Tetapi penurunan konsumsi itu terjadi karena penurunan ketersediaan kedelai impor.

Baca Juga: Kerukunan Berbatas Pagar, Cerita Keharmonisan Dari Pontianak

Turunnya volume impor kedelai secara otomatis menurunkan volume persediaan (penawaran) dalam negeri. Konsumsi pun menyesuaikan dengan ketersediaan kedelai di dalam negeri. Untuk mengatasi itu, pemerintah mengakhiri monopoli impor kedelai di tangan BULOG pada 1998, dan swasta ikut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya jumlah impor kedelai.

Pemerintah menerapkan bea impor nol persen. Kebijakan liberalisasi ini membuat kedelai impor kian membanjiri Indonesia. Sebagian besar berasal dari Amerika Serikat. Kemudian pada 2004, pemerintah menghapus subsidi dan kredit lunak untuk palawija termasuk kedelai, yang menyebabkan biaya produksi kedelai di dalam negeri meningkat, sehingga daya saing usaha tani kedelai semakin lemah. Hal itu ditulis Dewa K.S. Swastika dan kawan-kawan dalam “Perdagangan Internasional Kedelai” termuat dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Hingga hari ini, Indonesia masih terbelit produksi kedelai nasional.***

Editor: Y. Dody Luber Anton

Sumber: Historia.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah