Hoaks dan SARA Membuat Pemilu Tidak Berkualitas

- 10 Agustus 2021, 15:12 WIB
Peserta lokakarya yang diselenggarakan oleh Instan
Peserta lokakarya yang diselenggarakan oleh Instan /tangkapan layar/

Ia sangat sepakat dan mendukung adanya program KPU berupa pembentukan DP3 sehingga dapat melakukan antisipasi dini.

Baca Juga: KPU Wacanakan Surat Suara pada Pemilu 2024 Tak Lagi Dicoblos Tapi Ditandai

“Kita bisa bayangkan cost sosial. Berkenaan pilpres saja dalam dua periode yang sudah dilalui telah mencabik rasa kebangsaan. Nah nanti serentak se-Indonesia akan ada 530 lebih Pilkada dan enam bulan sebelum pilkada sudah mulai muncul pontensi konflik. Kekerabatanpun pecah,” kata Irwan.

Menurut Irwan, ada hal positif. Bagi mereka yang tadinya pasif, akan menjadi produktif. Tetapi sisi negatifnya juga harus dipertimbangkan. Diminta kepada KPU untuk melakukan sinergi dengan berbagai pihak antara pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan elit untuk antisipasi propaganda tersebut. Makanya harus ada aturan yang tegas untuk menindak mereka yang menggunakan politik identitas sebagai alat politik.

“Memang hak pemilih untuk menggunakan sudut pandang SARA ketika memilih, tetapi jika isu SARA dikapitalisasi maka akan membuat demokrasi tidak sehat, dan membuat kita terpecah. Belum lagi di era teknolog informasi sekarang yang dengan cepat dan mudah tersebar hoaks,” ujar Irwan.

Pada sesi pemaparan narasumber kedua dari Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Faisal Reza menjelaskan korelasi antara kehadiran sebuah bangsa dan pembentukan nasionalisme melalui media. Ia juga menyoroti tentang perlunya antisipasi degradasi (penurunan) nilai-nilai kebangsaan dalam momentum kepemiluan.

Baca Juga: 40 Orang Lolos Seleksi Pendaftaran Sekolah Kader Pengawas Pemilu di Kapuas Hulu

“Faktor yang cukup memengaruhi adalah media. Sejarah menunjukkan, untuk menunjukkan identitas sebuah bangsa melalui media, mulai dari simbol-simbol, gimik dan lainnya,” kata Faisal.

Hanya saja, lanjut Faisal, media saat ini memiliki problem, terlebih di era 4.0 penetrasinya menurun dan media sosial terus meningkat. Kalau media mainstream masih bisa dikendalikan karena ada institusi yang bisa diajak dialog. Tetapi berbeda dengan media sosial yang dikendalikan orang perorang.

“Nah, bagaimana kita mengantisipasi degradasi semangat kebangsaan ini melalui media. Saya kira hal ini sangat korelatif,” ujar Faisal.

Halaman:

Editor: Yuniardi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x